Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jejak Cinta di Ullen Sentalu

31 Juli 2018   10:14 Diperbarui: 31 Juli 2018   11:21 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gusti Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani dengan gelar de bloem van Mangkunegaran. Sumber foto | yukepo.com

Sudah hampir sepekan ingin membuat tulisan seputar Museum Ullen Sentalu selalu saja menemui halangan. Kadang tiba-tiba muncul rasa malas, ada kesibukan mengurus burung sebagai hobi baru, perhatian beralih ke isu politik hingga petahana Joko Widodo yang akan menghadapi penantangnya pada Pilpres 2019.

Ada saja alasan di diri ini untuk tidak menulis museum yang beralamat di Jalan Kaliurang, Kaliurang Barat, Pakembinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.  Padahal, dari sisi historis, banyak yang bisa diungkap dan bermanfaat bagi masyarakat bahwa museum tersebut patut dikunjungi untuk memperluas wawasan.

FH'20 Usakti ketika foto bareng di Museum Ullen Sentalu. Foto | Dokpri
FH'20 Usakti ketika foto bareng di Museum Ullen Sentalu. Foto | Dokpri
Berebut foto bareng di pintu masuk. Foto | Dokpri
Berebut foto bareng di pintu masuk. Foto | Dokpri
Memerangi rasa malas memang senyatanya tidak mudah. Dan, di sisi lain, penulis sangat sadar  museum merupakan sarana efektif untuk mengenal langsung dan menghayati tentang peradaban dan bagaimana pentingnya upaya melestarikan budaya Indonesia tercinta ini.

Tentu saja jika tidak dikenalkan melalui museum Ullen Sentalu, generasi mendatang tidak akan mengerti peradaban di tanah Jawa. Terlebih pada era kini, nilai-nilai globalisasi begitu deras masuk ke Tanah Air. Jadi, pikiran itulah yang membebani bagai anak sekolah punya pekerjaan rumah. Akhirnya, penulis menuangkannya dengan tetap tidak mengurangi aktualitasnya.

Begini. Pada Sabtu (21/7/2018), kami dan sekitar 35 orang anggota komunitas Fakultas Hukum  Angkatan 20 Universitas Trisakti (FH'20 Usakti) melakukan tour ke sejumlah objek wisata. Salah satunya ke Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta.

Awal masuk ke museum ini, dari pintu gerbang, penulis mendapat kesan seolah penulis berada di sebuah pemukiman kuno di Seoul. Maklum, penulis pernah bertandang ke negeri ginseng itu kala Asian Games 1986 di gelar di kota tersebut. Lantas, setelah masuk dan melihat sepasang patung tanpa kepala, barulah sadar bahwa bangunan mewah yang dipijak tersebut adalah sebuah museum.

Pemandu wisata museum ini, yang mengaku bernama Ida, menyebut Ullen Sentalu mulai dirintis pada tahun 1994 dan diresmikan pada 1 Maret 1997, yang merupakan tanggal bersejarah bagi kota Yogyakarta. Peresmian museum dilakukan oleh KGPAA Paku Alam VIII, Gubernur DIY pada waktu itu.

Ullen Sentalu adalah satu-satunya museum yang menampilkan budaya dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram (Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman). Termasuk koleksi beragam batik (baik gaya Yogyakarta maupun Surakarta). Yang menarik adalah ketokohan para raja dan permaisurinya dengan berbagai macam pakaian yang dikenakan sehari-harinya.

**

Suasana museum yang asri. Foto | Dokpri
Suasana museum yang asri. Foto | Dokpri
Foto bareng bersama pemandu wisata. Foto | Dokpri
Foto bareng bersama pemandu wisata. Foto | Dokpri
Lantaran kunjungan ke museum ini dalam suasana tengah hangatnya politik dan Pilpres, pemandu wisata sedikit terpancing pada pembicaraan soal isu suksesi di lingkungan keraton. Seorang pengunjung bertanya, apakah jika sultan tak memiliki putera lalu secara otomatis puterinya bisa menggantikan kedudukannya?

Si pemandu cepat-cepat menghentikan celotehnya sambil memberi aba-aba dengan tangan bahwa pembicarakan hal itu tidak perlu diteruskan. Tapi ia memberi latar belakang pengalaman sejarah di istana bahwa sayogianya memang raja yang mangkat selalu digantikan oleh puteranya, jika tak ada ya jatuh ke adik atau saudara terdekat. Ini aturan dari kerajaan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun