Sudah hampir sepekan ingin membuat tulisan seputar Museum Ullen Sentalu selalu saja menemui halangan. Kadang tiba-tiba muncul rasa malas, ada kesibukan mengurus burung sebagai hobi baru, perhatian beralih ke isu politik hingga petahana Joko Widodo yang akan menghadapi penantangnya pada Pilpres 2019.
Ada saja alasan di diri ini untuk tidak menulis museum yang beralamat di Jalan Kaliurang, Kaliurang Barat, Pakembinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Â Padahal, dari sisi historis, banyak yang bisa diungkap dan bermanfaat bagi masyarakat bahwa museum tersebut patut dikunjungi untuk memperluas wawasan.
Tentu saja jika tidak dikenalkan melalui museum Ullen Sentalu, generasi mendatang tidak akan mengerti peradaban di tanah Jawa. Terlebih pada era kini, nilai-nilai globalisasi begitu deras masuk ke Tanah Air. Jadi, pikiran itulah yang membebani bagai anak sekolah punya pekerjaan rumah. Akhirnya, penulis menuangkannya dengan tetap tidak mengurangi aktualitasnya.
Begini. Pada Sabtu (21/7/2018), kami dan sekitar 35 orang anggota komunitas Fakultas Hukum  Angkatan 20 Universitas Trisakti (FH'20 Usakti) melakukan tour ke sejumlah objek wisata. Salah satunya ke Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta.
Awal masuk ke museum ini, dari pintu gerbang, penulis mendapat kesan seolah penulis berada di sebuah pemukiman kuno di Seoul. Maklum, penulis pernah bertandang ke negeri ginseng itu kala Asian Games 1986 di gelar di kota tersebut. Lantas, setelah masuk dan melihat sepasang patung tanpa kepala, barulah sadar bahwa bangunan mewah yang dipijak tersebut adalah sebuah museum.
Pemandu wisata museum ini, yang mengaku bernama Ida, menyebut Ullen Sentalu mulai dirintis pada tahun 1994 dan diresmikan pada 1 Maret 1997, yang merupakan tanggal bersejarah bagi kota Yogyakarta. Peresmian museum dilakukan oleh KGPAA Paku Alam VIII, Gubernur DIY pada waktu itu.
Ullen Sentalu adalah satu-satunya museum yang menampilkan budaya dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram (Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman). Termasuk koleksi beragam batik (baik gaya Yogyakarta maupun Surakarta). Yang menarik adalah ketokohan para raja dan permaisurinya dengan berbagai macam pakaian yang dikenakan sehari-harinya.
**
Si pemandu cepat-cepat menghentikan celotehnya sambil memberi aba-aba dengan tangan bahwa pembicarakan hal itu tidak perlu diteruskan. Tapi ia memberi latar belakang pengalaman sejarah di istana bahwa sayogianya memang raja yang mangkat selalu digantikan oleh puteranya, jika tak ada ya jatuh ke adik atau saudara terdekat. Ini aturan dari kerajaan itu sendiri.