Menanamkan rasa syukur tidak cukup dengan kalimat-kalimat yang sering diucap setiap hari. Ungkapan rasa syukur perwujudannya adalah menempatkan diri agar selalu bermanfaat bagi diri sendiri dan orang sekitar. Karenanya, kala mendapat kesulitan dan kemudian dicerca orang lain tidak perlu disikapi dengan marah. Apa lagi menciptakan permusuhan secara frontal, karena selain berakibat rusakya silaturahim juga dapat mencederai amal-amal yang telah diperbuat.
Tuhan tidak pernah tidur. Tentang hal ini banyak orang meyakininya. Kecuali ia penganut ateisme. Karena itu, ketika mempunyai keinginan memiliki sesuatu namun kemampuan finansial terbatas hendaklah disikapi dengan bijaksana. Tak perlu menyalahkan orang lain. Apa lagi menyalahkan tuhan yang telah banyak mencurahkan rezeki pada mahluknya.
Namun juga Tuhan punya sifat adil. Tuhan maha pengasih dan mengetahui apa yang dikehendaki. Karenanya, tanpa sadar keinginan lama terpendam dapat berwujud di hadapan kita sendiri. Setidaknya, hal itu terjadi pada diri penulis.
Mau beli, tak cukup uang. Coba kalau jadi konglemerat. Tinggal sebut kepada anak buah, paling lambat esoknya sudah di hadapan mata. Tapi ini, tak punya doku. Tapi, lagi-lagi, janji Tuhan itu tak pernah tertukar. Buktinya, beo datang ke rumah sendiri. Ia masuk melalui garasi rumah penulis. Tinggal tangkap, pelihara beberapa bulan sudah berceloteh seperti anak kecil.
Itu kejadiannya sudah lama. Beo akhirnya diserahkan kepada rekan. Sebab, penulis pindah rumah alias ditarik perusahaan dari dinas kembali ke induk.
Kini, keinginan memelihara burung kembali muncul. Tapi, ada hambatannya. Yaitu, mau beli burung rata-rata harganya setengah jeti (setengah juta rupiah) paling murah. Wuih, mahal. Apa lagi sekarang di berbagai pemukiman di Jakarta, banyak warga tengah "demam" burung.
Kini, kalau pagi hari, ia berbunyi. Cerewet. Rumah pun jadi ramai. Burung jalak, ayam jago dan ayam kate - yang kecil-kecil lari lincah - saling bersahut-sahutan mempertujukkan suaranya. Beginikah kehidupan harmoni? tanyaku dalam hati.
Tak disangka, suara jalak banyak memberi inspirasi bagi penulis. Kadang si jalak terlihat manja. Ketika diberi seekor jangkrik kecil, ia cepat mematuknya. Lalu, di dalam kandang, ia terbang ke berbagai arah. Menclok sana, terbang lagi. Menclok di atas kandang dan turun lagi sambil memperdengarkan suaranya yang merdu.
**
Baru melangkahkan kaki sekitar 100 meter dari rumah dengan tujuan membeli makanan burung dan ayam, tiba-tiba kulihat dari kejauahan si mbok tukang jamu tengah memarkir motornya. Hati tergiur ingin minum jamu. Maklum seharian di rumah terasa bosan dan badan ngilu. Lagi nggak enak bodi, kata anak zaman now. Nah, barangkali saja - seperti juga sering diceritakan tetangga yang kuli bangunan - dengan minum jamu badan dapat sehat dan bugar.
Ah, jadi ingat dengan Presiden Joko Widodo yang juga ternyata dapat memelihara fisiknya tetap sehat lantaran minum jamu. Biarlah kalau ada orang menyebut diri ini membeo, ikut-ikutan gaya hidup orang 'gedean'. Terpenting, hidup kita sehat. Mengapa harus malu menyontoh yang baik-baik.
Ku pesan kepada si mbok, pedagang jamu yang terlihat masih muda dan cantik, jamu kunyit dan temu lawak. Ia menawariku apakah diminum di tempat atau dibungkus. Kujawab singkat, bungkus dengan pelastik saja.
Tanpa ditawar, si mbok yang tidak kukenal namanya itu, segera menuangkan temu lawak dari botol. Juga kunyit yang masih terasa hangat. Itu pertanda, si mbok yang menjual jamunya dengan motor sederhana itu, baru saja keluar dari rumahnya.
Dulu, seingatku pedagang jamu model si mbok ini botol-botolnya digendong. Jamu cair di dalam botol diletakan di dalam baki, digendung di punggung. Ia kemudian berkeliling kampung. Ada yang sambil berjalan berteriak.. jamu.. jamu. Tapi, sekarang tidak lagi. Sekarang, kebanyakan mereka menjualnya dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor.
Ku bayar jamu itu dengan harga Rp15 ribu. Tentu, bagi si mbok terasa mahal. Tapi, biar kembaliannya diambil saja. Ia pun menerima sambil melempar senyumnya yang manis. Wuih, jadi takut rasanya menyaksikan ia tersenyum. Takut bukan pada si mbok itu untuk jatuh cinta karena kecantikannya loh. Penulis jadi khawatir, ia kalau terus begitu ramah dengan pelanggan bisa diculik begal di tengah jalan.
Cara membuat jamu tradisional itu, sesungguhnya sangat sederhana. Kalau jamu berupa kunyit, yang digiling dulu. Juga temu lawak, giling sampai halus. Pedagang jamu juga melengkapi beras kencur, artinya beras dan kencur digiling lantas diberi air, disaring, maka jadilah beras kencur. Air tentu tak sembarang air, ya harus dimasak sampai mendidih.
Dulu, ketika penulis masih kecil, cara masaknya menggunakan kayu. Sekarang, tidak lagi. Si mbok tukang jamu itu menggunakan gas 3 kg dari Perusahaan Gas Negara (PGN) tentunya, yang memang diperuntukan bagi kalangan warga miskin.
Gas ukuran 3 kg itu tentu juga digunakan bagi pedagang jamu di berbagai pelosok Jakarta. Harap maklum, pedagang jamu tidak hanya si mbok saja yang dijumpai penulis. Juga di beberapa tempat, karena pembuatan jamu itu sudah termasuk kategori industri rumahan. Pedagang jamu sekarang mendapat saingan berat, yaitu jamu-jamu yang dijual di pasar swalayan dalam bentuk kemasan sachet (baca, saset).
Kendati begitu, jamu gendung - sekarang jamu yang dijual menggunakan motor seperti si mbok - tetap eksis. Si mbok pun dalam mengembangkan usahanya tidak memerlukan modal besar. Namun dengan segala kesungguhannya, ia pun beroleh keuntungan dan bisa survive hingga kini.
**
Namun perlu ada kesadaran bahwa keceriaan pun terasa hambar bila tidak disertai dengan upaya menjaga kesehatan. Si mbok tukang jamu telah memberi energi, penyemangat dan inspirasi bahwa kehidupan harmonis memang tidak bisa hadir dengan begitu saja tanpa dukungan warga sekitar. Suara burung jalak dan kokok ayam setiap hari hadir di kediamanku karena disitu ada energi positif.
Ya, si mbok tukang jamu tadi telah memberi contoh bahwa hidup harus sehat. Ia bergerak dari satu titik ke titik lain untuk menawarkan sebuah janji hidup harus sehat. Menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Sehat jasmani dan rohani harus didedikasikan untuk kesalehan sosial dan bermanfaat bagi orang sekitar.
Ketika seseorang telah bersungguh-sungguh berupaya dan berdoa namun belum membuahkan hasil, janganlah berputus asa. Boleh jadi Tuhan punya skenario sendiri terhadap diri kita. Namun harus diyakini, dalam hidup ini, kemampuan manusia sudah ditentukan sesuai dengan garisnya. Di mata Tuhan, nilai ibadah seseorang itu dinilai pada EnergiBaik dan positif yang dipancarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan pun tidak melihat siapa dia, dari mana asalnya. Atau kedudukannya. Yang membedakan menusia adalah amal ibadahya. Apakah kualitas ibadahnya bagus atau tidak. Terpulang kepada diri kita. Dan dalam kontek spirit hidup harmoni, sungguh tepat, Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Surat Yasin, ayat 40)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H