Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inspirasi Jalak dan Energi Mbok Jamu Sebagai Spirit Hidup Harmoni

19 Juli 2018   07:05 Diperbarui: 19 Juli 2018   16:17 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalak Suren hadir di rumahku. Unggas ini jadi inspirasi bagi seseorang yang ingin hidup harmoni. Foto | Dokpri.

Baru melangkahkan kaki sekitar 100 meter dari rumah dengan tujuan membeli makanan burung dan ayam, tiba-tiba kulihat dari kejauahan si mbok tukang jamu tengah memarkir motornya. Hati tergiur ingin minum jamu. Maklum seharian di rumah terasa bosan dan badan ngilu. Lagi nggak enak bodi, kata anak zaman now. Nah, barangkali saja - seperti juga sering diceritakan tetangga yang kuli bangunan - dengan minum jamu badan dapat sehat dan bugar.

Ah, jadi ingat dengan Presiden Joko Widodo yang juga ternyata dapat memelihara fisiknya tetap sehat lantaran minum jamu. Biarlah kalau ada orang menyebut diri ini membeo, ikut-ikutan gaya hidup orang 'gedean'. Terpenting, hidup kita sehat. Mengapa harus malu menyontoh yang baik-baik.

Ku pesan kepada si mbok, pedagang jamu yang terlihat masih muda dan cantik, jamu kunyit dan temu lawak. Ia menawariku apakah diminum di tempat atau dibungkus. Kujawab singkat, bungkus dengan pelastik saja.

Tanpa ditawar, si mbok yang tidak kukenal namanya itu, segera menuangkan temu lawak dari botol. Juga kunyit yang masih terasa hangat. Itu pertanda, si mbok yang menjual jamunya dengan motor sederhana itu, baru saja keluar dari rumahnya.

Dulu, seingatku pedagang jamu model si mbok ini botol-botolnya digendong. Jamu cair di dalam botol diletakan di dalam baki, digendung di punggung. Ia kemudian berkeliling kampung. Ada yang sambil berjalan berteriak.. jamu.. jamu. Tapi, sekarang tidak lagi. Sekarang, kebanyakan mereka menjualnya dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor.

Ku bayar jamu itu dengan harga Rp15 ribu. Tentu, bagi si mbok terasa mahal. Tapi, biar kembaliannya diambil saja. Ia pun menerima sambil melempar senyumnya yang manis. Wuih, jadi takut rasanya menyaksikan ia tersenyum. Takut bukan pada si mbok itu untuk jatuh cinta karena kecantikannya loh. Penulis jadi khawatir, ia kalau terus begitu ramah dengan pelanggan bisa diculik begal di tengah jalan.

Si mbok jamu melayani pelanggan di tepi jalan. Foto | Dokpri
Si mbok jamu melayani pelanggan di tepi jalan. Foto | Dokpri
Tapi, ku pikir lagi, biarlah ia mencari peruntungannya sendiri. Ku doakan ia selamat dan mendapatkan keberuntungan.

Cara membuat jamu tradisional itu, sesungguhnya sangat sederhana. Kalau jamu berupa kunyit, yang digiling dulu. Juga temu lawak, giling sampai halus. Pedagang jamu juga melengkapi beras kencur, artinya beras dan kencur digiling lantas diberi air, disaring, maka jadilah beras kencur. Air tentu tak sembarang air, ya harus dimasak sampai mendidih.

Dulu, ketika penulis masih kecil, cara masaknya menggunakan kayu. Sekarang, tidak lagi. Si mbok tukang jamu itu menggunakan gas 3 kg dari Perusahaan Gas Negara (PGN) tentunya, yang memang diperuntukan bagi kalangan warga miskin.

Gas ukuran 3 kg itu tentu juga digunakan bagi pedagang jamu di berbagai pelosok Jakarta. Harap maklum, pedagang jamu tidak hanya si mbok saja yang dijumpai penulis. Juga di beberapa tempat, karena pembuatan jamu itu sudah termasuk kategori industri rumahan. Pedagang jamu sekarang mendapat saingan berat, yaitu jamu-jamu yang dijual di pasar swalayan dalam bentuk kemasan sachet (baca, saset).

Kendati begitu, jamu gendung - sekarang jamu yang dijual menggunakan motor seperti si mbok - tetap eksis. Si mbok pun dalam mengembangkan usahanya tidak memerlukan modal besar. Namun dengan segala kesungguhannya, ia pun beroleh keuntungan dan bisa survive hingga kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun