Jika Gerardus Mayela Sudarta atau yang lebih dikenal dengan GM Sudarta menyebut dirinya sebagai kartunis yang banyak menelan kepahitan, bagi penulis hal itu jauh sudah dapat dirasakan ketika penulis bersamanya ikut penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) beberapa tahun silam.
Sosok GM Sudarta, bagi penulis, selalu tampil kritis. Namun ia selalu mengedepankan keramahan dan melempar senyum meski materi pembicaraannya mengandung kritik tajam. Sesekali ia tak segan menyelipkan ucapan humor.
Di era Orde Baru, penulis ditunjuk manajemen Kantorberita Antara untuk ikut penataran P4. Seingat penulis penataran berlangsung pada Oktober 1984. Â Penulis bertemu dengan GM Sudarta dan berada satu kelompok. Saat itu, penataran diselenggarakan PWI Pusat bekerja sama dengan Departemen Penerangan.
Pada masa itu, ada keharusan bagi setiap insan pers ikut penataran P4. Penataran dibagi tiga kelompok: Nusa, Bangsa dan Bahasa. Bagi orang tua jadul atau tuwir pasti tahu pembagian kelompok-kelompok itu.Â
Penataran mengambil tempat di salah satu gedung kawasan Rasuna Said Kuningan. Penataran berlangsung dalam suasana 'angker', karena para narasumbernya selain terlihat necis juga berwibawa ketika menyampaikan butir-butir Pancasila yang harus dihafal para peserta.
Nah, di sini GM Sudarta sudah memperlihatkan jati dirinya. Ia menyampaikan protes kepada para penatar P4, karena lebih banyak menekankan kepada para peserta untuk hafal butir-butir Pancasila di luar kepala apa yang disampaikan di muka kelas.
GM Sudarta mengimbau kepada peserta dan narasembr untuk membuka diri berdiskusi, mengangkat persoalan aktual dan mencari solusi dengan pijakan nilai-nilai luhur Pancasila. Bukan seperti anak sekolah yang tengah menunaikan ujian di dalam kelas.
Pada saat itu ia pun minta kepada panitia penataran agar tidak memberlakukan aturan terlalu kaku. Seperti peserta yang terlambat atau tidak hadir lantas peserta dinyatakan gugur. Harus dilihat alasannya dahulu. Terlebih saat itu, tengah terjadi 'musibah' tragedi ledakan gudang amunisi milik Marinir TNI AL di Cilandak, Jakarta Selatan.
Peristiwa itu memang mengerikan. Setelah ledakan (Selasa, 30 Oktober 1984) pukul 20.00 WIB, banyak peserta yang berdomisili di kawasan itu tak bisa hadir.
Akibatnya peristiwa itu, mungkin sebagian warga Jakarta tahu, banyak peluru nyasar tak terkendali ke permukiman penduduk hingga menyebabkan beberapa orang tewas dan ribuan warga diungsikan.
Protes GM Sudarta ini, seingat penulis, dipenuhi atau dikabulkan pihak panitia penataran P4. Jalannya penataran tidak melulu dijejali keharusan menghafal, tetapi banyak mengangkat isu-isu yang kemudian didiskusikan peserta.