Suara dehem orang tua seperti bersahut-sahutan. Seperti lomba, jika tak berdehem rasanya tidak sempurna berada di masjid. Kala orang di sebelah berdehem, orang berada di bagian belakang membalas dehem dengan suara lebih keras.
Konyolnya, para bocah ikut menikmati suara dehem para tetua seperti itu. Kadang ada orang seperti punya penyakit batuk. Lehernya seperti gatal sekali. Rasanya enak sekali orang seperti itu diberi biji buah kedondong, kerongkongan digaruk. Lalu lendir keluar bersama sang batuk.
Ketika para tetua menikmati saling sahut menyahut dengan dehem dan suara meninggi seperti batuk, anak-anak ikut-ikutan.
Ehem... ehem... ehem.
Jika salah seorang anak sudah berdehem seperti itu, dapat dipastikan rekan-rekan sebayanya ikut ikutan. Maka, suaranya makin riuh.
Anehnya, suara dehem atau berdehem di masjid di kampung saya itu berlangsung saat menjelang shalat Isya dan subuh. Usai azan Isya berkumandang, para orang tua sambil berjalan ke pojok masjid sambil berdehem. Lalu di susul orang tua lain datang dari arah pintu samping, juga berdehem.
Anak-anak yang datang secara bergerombol datang juga berdehem. Begitu juga kala shalat sunah menjelang berjamaah Isya, di sini suara dehem paling 'seru'. Boleh dikata, jadilah lomba dehem.
Suara dehem yang ramai itu mulai mereda ketika sang imam masjid masuk dari arah pintu samping. Sang ustaz langsung maju ke arah tempat berdiri imam. Ia seperti biasa melakukan shalat sunah. Setelah itu, seperti memberi kode kepada pengurus masjid untuk komat.
Tak ada suara dehem saling balas membalas. Apa lagi dehem dengan disusul suara batuk. Batuk hanya diperdengarkan orang tua renta dan shalat mengenakan kursi sambil duduk. Sedangkan para pembawa suara dehem tadi menghentikan aktivitasnya.
Nah, ketika menjelang shalat tarawih, (kadang ada yang menyebut teraweh atau taraweh) adalah salat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan ramadhan, anak anak-anak berdehem. Mereka seperti melakukan serangan balasan kepada orang tua yang awalnya berdehem-dehem tadi. Tapi, dehemnya para bocah itu tidak mendapat respon. Apa lagi serangan balik.
Kenapa, ya? Tanya penulis dalam hati.
Bisa jadi, itu terjadi karena wibawa sang imam yang juga ustaz. Di masjid tempat kami melaksanakan tarawih, awal puasa jemaahnya membludak. Penuh sesak. Sekarang, biasa, sepekan menjelang Idul Fitri peserta jemaah tarawih menyusut.
Tapi, soal dehem dan mendehem di dalam masjid masih ada. Hanya saja, tidak seramai pada awal Ramadhan.
Ini karena sang ustaz punya wibawa. Sedangkan para bocah, 'cuek bebek'. Saya kira, di masjid mana pun kala Ramadhan ini, banyak bocah memang ikut meramaikan ritual ibadah Ramadhan. Hanya saja, dari sisi kualitas memang perlu bimbingan.
Menurut penulis, berdehem di masjid -- atau pun di kamar kecil masjid -- boleh saja. Tapi, jangan dibuat-buat sehingga dapat mengganggu orang yang ingin meningkatkan kualitas ibadahnya di masjid.
Ramadhan memang bulan penuh rahmat. Raihlah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI