Entah apa kaki ini tiba-tiba melangkahkan ke makam Syaikh Abdur-Rauf As-Singkeli, atau pupuler di zaman 'now' Syaikh Kuala, seorang mubaligh terkenal di Aceh.
Beberapa tahun lalu, penulis bersama seorang rekan, warga Aceh, ditemani berziarah sambil menikmati keindahan kota setempat. Decak kagum muncul dalam hati karena pemerintah setempat begitu besar memperhatikan seorang tokoh, bisa juga sebagai guru dan penjaga "pintu gerbang" akhlak bagi masyarakat di zamannya.
Perhatian tersebut setidaknya terlihat dari masjid yang dibangun di dekat makam, fasilitas bagi para peziarah dan secara rutin menyelenggarakan haul atau peringatan tahunan bagi ulama besar di Aceh ini.
Mubaligh ini banyak melahirkan karya yang tidak lepas dari perhatian umat. Ia pun banyak membantu umat memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan dan menghindarkan mereka dari tindakan yang salah.
Berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair, banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.
Secara umum, Syaikh Abdur Rauf mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam karya-karyanya terlihat ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerja sama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang sejati.
Di kota Nabi Muhammad SAW itu, Madinah, Abdul Rauf belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani. Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdur Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu.
Nah, sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya ia mengajar di Aceh dengan jumlah murid berasal dari penjuru Nusantara.
Ia punya pandangan sejalan dengan pandangan Sultan Taj Al-'Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675). Bisa jadi karena pandangannya itu Abdur Rauf diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan Mufti atau Kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif Al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh.Â
Di bulan suci Ramadan ini, dari paparan tersebut, kita dapat memetik pelajaran bahwa seorang ulama kemuliaan dan kebesarannya di tengah masyarakat sangat ditentukan dari kedalaman kualitas ilmu dan keteladanannya di masyarakat.