Dulu ada wacana dai atau mobaligh diharapkan ikut program sertifikasi. Mencontoh seperti yang diterapkan di beberapa negara Timur Tengah. Langkah ini senyap begitu saja.
Sertifikasi awalnya diyakini dapat berguna untuk membuktikan seorang dai mempunyai kompetensi lebih. Baik dalam hal penghafalan Alquran, pengertian Hadist, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Sehingga saat seorang dai mempunyai sertifikat untuk menyampaikan ilmu kepada jamaah, lembaga manapun bisa lebih mempercayai dai tersebut karena dia telah mempunyai sertifikasi yang terpercaya.
Sayangnya, sertifikasi  belum menjadi hal yang wajib dimiliki dai. Pasalnya, jamaah atau lembaga yang bersangkutan termasuk pemerintah menilai sertifikasi ini tidak banyak berpengaruh.
Lantas muncul usulan, perlu dibuat kode etik bersama dalam berdakwah. Usulan ini memang awalnya dirasakan penting supaya para mubaligh dalam dakwanya dapat menyejukan umat. Bukan perpecahan.
Dakwah sambil menuduh golongan lain di luar golongannya merupakan ceramah tidak sehat. Hal itu harus dihindari oleh para pendakwah ajaran agama Islam. Juga dakwah yang menyebut di luar agamanya adalah kafir, adalah sangat tidak pantas. Sebab, ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin.
Lantas, siapa yang harus membuat kode etik. Ormas kah, atau pihak kemenag?
Penulis merasa yakin bahwa rilis 200 mubaligh atau dai berawal dari niat baik. Tapi, momentumnya tidak tepat. Ke depan bisa jadi 'gorengan' isu politik baru. Tataran kebijakan bolah jadi bagus, tetapi implementasi kebijakan itu dibutuhkan sebuah proses dan waktu.
Penting dibangun kesadaran bahwa dai atau mubaligh adalah orang yang kerjanya berdakwah; pendakwah: melalui kegiatan dakwah. Mereka ini bertugas menyebarluaskan ajaran agama. Tentu kesadaran menghindari pengotakan mubaligh harus terpelihara terus..
Karenanya, daripada ribut berkepanjangan, sejak dini ormas Islam dan ulama segera menemui Menag dan membicarakan lebih lanjut.
 Sebab, bila hal itu berlanjut, apa lagi sosialisasinya 'lemah', tidak mustahil tim kesebelasan kementerian itu akan membuat 'blunder' lagi.  Semua pihak tentu sepakat bahwa hal itu perlu dihindari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H