Sengaja penulis menyebut kata 'dilarang' pada judul untuk mengungkap keunggulan kuliner tradisional Nusantara, khususnya khas kota Balikpapan.
Loh, kok berani-beraninya, ya?
Bukankah mau menyantap atau tidak menu makanan tertentu itu tergantung selera seseorang. Seorang untuk menolak atau menjadikan suatu masakan sebagai makanan kegemaran, semua terpulang pada hak asasinya. Boleh jadi, itu tergantung pada citra rasa. Atau mengukur pada kemampuan kantong (ekonomi) orang bersangkutan.
Alasan itu sungguh benar. Soal selera adalah menyangkut lidah seseorang. Karena hal ini menyangkut citra rasa. Bukan harus dipaksa-paksa. Orang yang sudah memiliki kebiasaan makan sagu atau ubi tiba-tiba dipaksa makan sehari-hari dengan nasi tentu tidak baik bagi kesehatan bersangkutan.
Jangan samakan lidah orang 'bule' dengan orang Indonesia. Orang Indonesia belum disebut makan seharian kala tidak menyantap nasi. Sedangkan si 'bule', boleh jadi, merasa sudah makan setelah mengunsumsi roti dalam jumlah tertentu.
Begini. Penulis menyadari bahwa soal makananan memang menyangkut hak. Demikian pula citra rasa, setiap orang punya penilaian berbeda satu sama lain. Seorang suami tidak menyukai makanan yang disuguhkan dari kantin kantornya, tetapi lebih menyukai masakan isterinya. Karenanya, sang suami lebih suka membawa makan dan lauk-pauknya dalam kemasan rantang ke kantor dari hasil masakan isterinya.
Ini bukan soal menghemat. Apalagi, bahkan, ada yang menduga-duga sebagai lelaki pelit. Tidak mau makan bareng di kantin kantor.
Jadi, soal selera dalam makan lebih banyak memasuki ranah citra rasa individu. Menurut penulis, sangat subjektif.
Lantas, bagaimana dengan nasi kuning, ikan gabus dan lontong sayur Balikpapan yang dilarang dilupakan itu?