Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | KH Mustajab Mengantisipasi Datangnya Orang Gila Baru

27 Januari 2018   12:51 Diperbarui: 27 Januari 2018   13:02 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim Pilkada dan Pilgub bagi KH Mustajab adalah sebuah peristiwa menggembirakan dan menyedihkan. Ia harus melakukan antisipasi, setidaknya menyiapkan kamar, membersihkan dan mengecet ruangan yang dikhususkan merawat pasien gila baru. Ia pun harus merogoh koceknya lebih dalam lagi untuk menyiapkan logistik sehingga para pasien merasa tenang dan nyaman.

Pilkada memang berkah jika dipandang sebagai sarana untuk mendapatkan pemimpin secara demokratis. Ini tentu menggembirakan bagi KH Mustajab yang bertahun-tahun di usianya hingga 70 tahun menyaksikan pemilihan wakil rakyat dan kepala daerah hingga presiden. Dari kampungnya, Desa Gajahmungkur, yang hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua, jalan berbatu dan becek, KH Mustajab menyebut jalannya pesta demokrasi yang sering disebut-sebut sebagai jujur, adil, bebas dan rahasia itu.

Di sisi lain kiai yang banyak bersembunyi dari keramaian orang banyak dan selalu menghindar tampil di hadapan publik, ia mengaku merasa prihatin. Bukan penyelenggaraan Pilkada dan Pilgub  yang menjadi perhatian, tetapi selalu saja pesta demokrasi di negeri ini yang menimbulkan rasa prihatin.

"Kenapa saya prihatin. Ya, karena banyak orang tidak mengukur pakaian yang dibeli untuk dikenakan di badannya sendiri. Bisa jadi, pakaian itu terlalu longgar meski dari sisi motif menarik. Bisa jadi baju itu terlalu sempit, tetapi dipaksa. Walau pada bagian ketiak koyak, tetap saja dikenakan," KH Mustajab bercerita ketika didatangi seorang jurnalis di kediamannya.

"Kalau orang memaksakan diri mengenakan pakaian tidak pas di tubuhnya sendiri, bisa jadi terlihat 'nora', lucu dan tak elok dipandang orang banyak. Ini yang membuat saya prihatin," ungkap sang kiai sambil memandang pekarangan pendopo perawatan pasien korban Pilkada. Pekarangan pendopo itu terlihat bersih, asri dengan pepohonan  rindang.

Dari kursi goyangnya, yang terbuat dari rotan, KH Mustajab yang tak pernah lepas dengan tasbih di tangannya itu lalu meminta kepada sang jurnalis untuk melihat dan memperhatikan ke arah salah satu orang yang tengah berjalan di pekarangan.

"Orang ini sekarang dijauhi anggota keluarganya. Ia seperti dibuang. Dia dahulu adalah mantan anggota dewan di wilayah Indonesia Timur. Pada pemilihan kedua, ia tak terpilih. Gila. Keluarganya mengirim ke sini. Setelah itu, jangankan menengok, mengirim biaya perawatan saja tak pernah ingat," Mustajab bercerita tentang anggota dewan yang kemudian menjadi gila.

"Ini gila beneran. Atau gila-gilaan, pura-pura gila untuk menghindari jeratan hutang? Atau menghindari kasus hukum?"

Mendapat pertanyaan itu, KH Mustajab tak memberi jawaban. Baginya, yang jelas, setiap orang yang dikirim di pendoponya harus mendapat pertolongan. Ia paham sekali, ketika ada rombongan mengirim pasien gila, dapat dipastikan bahwa anggota keluarganya akan menghilang bagai ditelan bumi. Mereka bagai membuang barang rongsokan ke tempat pembuangan sampah terakhir. Ke depan, tidak perlu dilihat lagi. Begitulah.

***

Para kandidat menjelang Pilkada boleh jadi mendekati tokoh agama, termasuk para pemimpin pondok pesantren. Cara seperti itu sah saja dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Kiai yang sudah malang melintang belajar di berbagai pondok pesantren ini berharap kedekatan para kandidat tidak pada saat-saat menjelang dan saat pelaksanaan Pilkada saja.

Sebab, pandangan dia, makin sering seseorang mendatangi pondok pesantren disertai dengan rasa ikhlas akan banyak pelajaran yang dapat dipetik. Setidaknya, ia akan memberi perhatian dan memetik pelajaran dari banyaknya anak yatim di pondok bersangkutan dididik dengan baik.

Kiai itu ketika bergerak untuk kegiatan amal saleh, atau kesalehan sosial, tidak berharap mendapat imbalan. Bahkan ada di antara para kiai menahan lapar dan menjalankan puasa seorang diri tanpa diketahui para santrinya. Ia menikmati rasa lapar seorang diri disebabkan logistik yang tersedia lebih baik diikhlaskan untuk makan para santrinya.

Sejak zaman penjajah, para kiai sudah mendedikasikan dirinya untuk umat. Meningkatkan kualitas pendidikan anak. Semampunya. Tidak seperti lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah, pengajarnya sering tidak beretika, melakukan pelecehan kepada anak didik. Atau sebaliknya, anak menjadi nakal dan melawan guru.

"Saya tidak bermakud menjelekan lembaga pendidikan pemerintah. Itu tidak semua. Banyak juga lembaga pendidikan pemerintah yang baik, perguruan tingginya makin baik. Kitab kuning pun sekarang makin mendapat tempat untuk dipelajari," KH Mutajab berceloteh.

Lembaga pendidikan seperti pondok pesantren memang boleh dijuluki sebagai hidup segan mati tidak mau. Itu disebabkan seretnya biaya. Kalaupun ada perhatian dari pemerintah, dana yang dikucurkan pun cara mengurusnya 'nyelimet'. Padahal, itu uang rakyat.

"Kan sekarang ada pepatah, kalau memang mudah kenapa tidak dibuat sulit?" Mustajab melontarkan pertanyaan kepada penulis sambil melempar tawa.

Si jurnalis ikut tertawa. Ya, mereka menertawakan keadaan fenomena kehadiran lembaga pendidikan yang hingga kini masih dipandang sebelah mata.

Termasuk peran dari pondopo perawatan orang gila, yang dikelola KH Mustajab itu. Boleh jadi Ponpes dan pondok itu masih dinilai sebagai penampung sampah masyarakat dan tidak berarti bagi sebagian kalangan petinggi di negeri ini.

***

"Seharusnya memang ada rumah sakit sebagai penampung korban Pilkada. Tapi, sayangnya, anggota keluarga takut terpublikasi. Malu?" KH Mustajab menduga-duga.

Kisah si Sumanta, pemakan bangkai manusia sudah sembuh. Ia kini pandai membaca Alquran. Berita Sumanta kembali pulih, sehat seperti dahulu, telah menarik perhatian publik. Itu diawali karena pemberitaan dari media massa.

Tapi, bagi KH Mustajab, sehatnya si pemakan bangkai itu tidak lantas membuatnya gembira. Pasalnya, ya seperti juga mantan-mantan anggota dewan yang dirawat di pendoponya, tidak diterima lagi oleh anggota keluarganya.

Jelas saja ini membawa konsekuensi pada ketersediaan logistik untuk perawatan insan-insan yang dirawat di pendoponya.  Kini Pilkada sudah semakin dekat. Banyak di antara pesertanya menaruh harapan terlalu tinggi, meraih suara terbanyak dan jabatan segera dapat digenggam.

Karena harapan tidak dapat digapai, tidak mustahil mereka frustrasi. Peristiwa ini tidak sekali saja terjadi. Setiap musim Pilkada, dipandangan kiai yang hidupnya sederhana ini, tidak selalu diharapkan membawa berkah lahirnya pemimpin sidik, amanah, tabligh dan fathonah.

Bisa jadi sebagai sebuah malapetaka, yang terjadi pemimpin terpilih menzalimi umat.  

Dari sisi lain, Pilkada selalu saja melahirkan orang frustasi yang kemudian menjadi gila baru. Untuk hal ini, KH Mustajab memang sudah melakukan antisipasi. Sekurangnya persiapan untuk itu, ia telah membersihkan kamar untuk menampungnya.

Catatan: Mohon maaf, jika ada kesamaan nama dan tempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun