Entah apa mertua setiap kali memanggilku tak lupa diembel-embeli kata jurig. Awalnya aku tak peduli dengan sebutan itu meski belakangan arti kata itu kutahu sama dengan sebutan hantu. Aku bertambah heran mengapa mertuaku, walau sudah punya anak dua, tetap saja memanggilku jurig. Padahal dari sikap dan tutur katanya sangat santun. Dibanding dengan lima mantunya, boleh jadi akulah yang tergolong paling disayang.
Mertuaku ini beretnis Sunda. Tepatnya, ia berasal dari kawasan kota Majalengka, Jawa Barat. Ia sudah puluhan tahun bermukim di kawasan Pogung Lor, tak jauh dari Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Jika melihat latarbelakang dan tempat tinggalnya saat itu, aku tambah heran mengapa orang tua yang berpendidikan tinggi, pandai Bahasa Belanda pula, memanggilku sering dengan sebutan jurig.
Karena aku mantau tergolong disayang, sebutan jurig yang sering dilontarkan mertuaku itu tidak kuhiraukan. Masa bodo', itu tak penting. Realitasnya, mertuaku yang kupanggil Mbah Uti sangat sayang kepadaku.
Apa bukti tanda ia sayang?
Nih buktinya. Setiap kali bertandang ke Yogyakarta, usai shalat subuh, sarapan sudah tersedia. Gelas berisi teh dan kopi disuguhkan. Dalam kondisi hangat disajikan di atas meja berukir kuno apik dan antik. Koran lokal -- Kedaulatan Rakyat -- pun sudah disiapkan di sisi kiri nasi goreng hangat, dengan maksud agar aku tak ketinggalan informasi hari itu.
"Jurig, kamu dari mana malam hari datangnya?"
"Ya, mbah. Dari Salatiga dulu, lalu pindah-pindah mobil terus ke sini," jawabku sambil menatap mata si Mbah Uti.
Aku memang punya kebiasaan, kalau berdinas ke kawasan Jawa Tengah selalu menyempatkan diri ke Yogyakarta. Meski letaknya jauh, pokoknya diusahakan bisa berjumpa mertua.
Ia tersenyum. Aku juga. Lalu tertawa berama. Gembira bersama saat pagi itu. Kebetulan sekali hari itu akhir pekan, sehingga aku leluasa tak memikirkan kerjaan rutin.
"Gimana kabar anak-anak dan ibunya?" kata si Mbah melanjutkan pembicaraannya.
"Anak-anak baik. Semua sudah sekolah seperti biasa. Pembantu masih stabil, artinya tidak merengek minta pulang kampung. Cuma nyonya saja. Itu biasa, itu kan isteri kesayangan saya juga?" kataku seperti tengah melapor keadaan kepada pimpinan kantor.