Alasan lain, karena unjuk rasa bisa berimplikasi kepada kerugian umat Islam itu sendiri. Waktu, biaya dan tenaga akan terkuras habis. Bisa dibayangkan, jika tiap hari digelar unjuk rasa di depan kantor Kedubes AS, lalu lintas terganggu, kegiatan karyawan yang berkontor di lingkungan kawasan Monas akan terhambat. Belum lagi aktivitas lainnya.
Status Yerusalem, tempat suci bagi agama Islam, Yahudi dan Kristen, memang telah menjadi salah satu isu paling berdarah dalam upaya perdamaian Timur Tengah yang telah berjalan lama.
Sementara Trump mengaku bertindak berdasarkan undang-undang tahun 1995 yang mewajibkan AS untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Pendahulunya, Bill Clinton, George W. Bush dan Barack Obama, secara konsisten menunda keputusan tersebut untuk menghindari ketegangan di Timur Tengah. Pendahulu Trump paham, Yerusalem adalah wilayah sensitif.
Secara historis, Israel menganggap kota itu sebagai Ibu Kota abadi dan tak terpisahkan serta menginginkan semua kedutaan besar berbasis di sana. Sementara warga Palestina menginginkan Ibu Kota negara Palestina merdeka berada di sektor timur kota, yang dikuasai Israel dalam perang Timur Tengah 1967 dan dicaplok dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui secara internasional.
Lantas, ke depan, apa yang patut kita perbuat. Tiada lain, mendorong dan mendukung sikap pemerintah untuk menyelesaikan perdamaian di kawasan itu. Lebih cantik lagi, bisa mendesak Trump untuk mencabut keputusan yang telah diambilnya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H