Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Menggelar Unjuk Rasa di Kedubes AS?

9 Desember 2017   23:11 Diperbarui: 10 Desember 2017   05:11 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ustaz Abu Anas Abdillah pada pengajian Majelis Taklim As Salam - Ukhuwah Islamiyah Fakultas Hukum Universitas Trisakti Angkatan 20 di kediaman Hj Dina Chozie Jl. Tebet Utara 2 D No. 15 Jakarta Selatan, Sabtu siang (9/12). Foto | Dokpri

Alasan lain, karena unjuk rasa bisa berimplikasi kepada kerugian umat Islam itu sendiri. Waktu, biaya dan tenaga akan terkuras habis. Bisa dibayangkan, jika tiap hari digelar unjuk rasa di depan kantor Kedubes AS, lalu lintas terganggu, kegiatan karyawan yang berkontor di lingkungan kawasan Monas akan terhambat. Belum lagi aktivitas lainnya.

Status Yerusalem, tempat suci bagi agama Islam, Yahudi dan Kristen, memang telah menjadi salah satu isu paling berdarah dalam upaya perdamaian Timur Tengah yang telah berjalan lama.

Sementara Trump mengaku bertindak berdasarkan undang-undang tahun 1995 yang mewajibkan AS untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Pendahulunya, Bill Clinton, George W. Bush dan Barack Obama, secara konsisten menunda keputusan tersebut untuk menghindari ketegangan di Timur Tengah. Pendahulu Trump paham, Yerusalem adalah wilayah sensitif.

Secara historis, Israel menganggap kota itu sebagai Ibu Kota abadi dan tak terpisahkan serta menginginkan semua kedutaan besar berbasis di sana. Sementara warga Palestina menginginkan Ibu Kota negara Palestina merdeka berada di sektor timur kota, yang dikuasai Israel dalam perang Timur Tengah 1967 dan dicaplok dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui secara internasional.

Lantas, ke depan, apa yang patut kita perbuat. Tiada lain, mendorong dan mendukung sikap pemerintah untuk menyelesaikan perdamaian di kawasan itu. Lebih cantik lagi, bisa mendesak Trump untuk mencabut keputusan yang telah diambilnya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun