Seorang jurnalis jangan seperti kerbau dicocok hidungnya, menurut saja kehendak orang lain tanpa membantah karena bodoh atau tidak berdaya melawan. Meskipun atasan menegaskan bahwa sebuah berita yang dilarang disiarkan itu menjadi sikap atau merupakan kebijakan redaksi, Â sebagai anak buah harus memberikan sikap tegas.
Konsekuensinya dipecat. Â Itu merupakan risiko dari sebuah profesi.Â
Jika ada pimpinan redaksi ataupun pemimpin umum meminta anak buahnya agar tidak menurunkan atau menyiarkan sebuah berita, maka hal itu patut disikapi dengan kritis. Bila ada jurnalis manyetujui permintaan atasan seperti itu tanpa argumen, maka hal itu patut dipertanyakan kemampuan profesionalnya.
Seorang jurnalis harus mampu memberikan penjelasan kepada atasannya. Terlebih lagi jika suatu berita selain sudah memenuhi unsur berita, patut, menarik, memiliki nilai aktualitas tinggi, kedekatan emosional dengan publik. Apalagi jika berita tersebut sudah jelas layak siar.
Demikian pesan Petrus Suryadi Sutrisno yang penulis ingat tatkala masih menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, pengajar utama di  Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS). Saat itu ia tampil pada pembukaan dan penutupan UKW LKBN Antara di Gedung Galeri Foto Antara Jakarta (9-10/2012).
Petrus adalah jurnalis sejati. Baginya, profesi jurnalis adalah pekerjaan mulia. Jika dijumpai karya jurnalis terasa kering, berita tidak lengkap karena punya sumber hanya satu, misalnya, dianggap yang bersangkutan tidak memiliki integritas dalam tugas.
Sumber berita baiknya lebih dari dua sehingga redaktur punya argumentasi kala berita dipublikasikan dan dapat dipertanggungjawabkan. Jangan sesekali jurnalis membohongi masyarakat melalui tulisannya, kenang Priyambodo  RH, Direktur Eksekutif di Lembaga Pers Dr. Soetomo mengomentari Petrus yang wafat pada Jumat (17/11) di Dili, Timor Leste. Jenazah tiba Minggu malam di Jakarta dan dimakamkan Senin siang di Mekar Jaya, Bekasi.Â
Petrus Soeryadi Soetrisno, biasa namanya disingkat PSS, seperti disebut Priyambodo, adalah seorang jurnalis tangguh yang memegang prinsip. Ini sesuai dengan ilmu yang digeluti. Ia menyelesaikan studi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, 1982. Kursus Jurnalistik Liputan High Tech, Non Degree, 1983 dan In-House Marketing Research, 1984.
Ia pernah mengikuti International Management Workshop pada Fakultas Ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam, Negeri Belanda, 1987. Menjadi staff/Asisten Prof. Dr Pyotr Hessling pada Fakultas Ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda, 1990-1991. Tugas belajar dari BAIS TNI untuk  mengikuti program Master of Art studi pasca sarjana tentang Media-Social Movement-Terorism, ISS Den Haag, Belanda, 1993-1994. Kandidat Program Ph D pada Fakultas Ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda.
Meniti karier sebagai wartawan di harian umum Sinar Harapan sejak Januari 1976 sampai dengan 1986 sebagai Redaktur Desk Luar Negeri merangkap Kepala Sekretariat Redaksi dan dilanjutkan sebagai Special Assignment Reporter kemudian Bureau Chief Suara Pembaruan, 1990 -- 1994 untuk wilayah seluruh Eropa pada harian sore Suara Pembaruan, 1987 sampai 31 Desember 1999 sebagai Senior Editor.
Ia pun mampu melaksanakan penugasan meliput perang Iran-Irak 1985. Meliput Perang di Afghanistan pada era Najibullah, 1989. Meliput Perang Teluk I, 1991 di Irak, Jordan, Cyprus, Israel dan Suriah. Â Menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Tabloid Mandarin Pos, 1999 sampai dengan 2004. Senior Public Relations Consultant pada Times Communications, 1997 -- 2004. Senior Advisor/Consultant untuk Dinas Penerangan /Dispen TNI AD, 2004 --2005.