Bang Ilham merasa bersyukur bahwa dalam empat hari terakhir ini dagangannya laris keras. Meski harga kue bakpao sehari-hari Rp5 ribu dinaikan menjadi Rp5.500 per buah tetap saja laris. Bahkan kemarin ia membuat sampai 100 buah dan dijual di kawasan pemukiman kos-kosan Jalan Susilo, Grogol, cepat habis.
Kue jajanan yang bisa mengenyangkan perut ini bentuknya bulat dengan warna putih. Teksturnya lembut dan isian yang beraneka ragam membuat banyak orang menyukai bakpao.
Ia pun kembali mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang pada hari-hari sebelumnya tak pernah kata-kata itu diucapkan kala mendapat untung maupun saat 'buntung', rugi karena langka pembeli.
Karena berdagang bakpao itu memberi berkah, ia pun membenahi alat angkut, gerobak dan pemanas bakpao. Uang keuntungan harus dimanfaatkan kembali agar membuahkan hasil lebih baik.
Kalau ikut istilah orang "gedean", uang keuntungan diinvestasikan kembali sehingga usaha ke depan diharapkan dapat berkembang dan maju.
"Uangnya untuk investasi. Biar bagus peruntungan ke depan," ungkap Bang Ilham kepada sesama rekannya pedagang bakpao.
"Bakpao... bakpao... nggak deh. Gue nggak ngucapin kata ntu lagi," Â ia mengungkapkan kalimat itu seorang diri dalam perjalanan ke kediamannya di kawasan Pasar Inpres Grogol.
Ilham memang sekarang tak perlu lagi berteriak menjajakan dagangannya sambil berkeliling. Penempilannya pun berubah. Ia berdagang mangkal. Ia sudah membeli gerobak baru, termasuk kompor yang ditempatkan di gerobak untuk menjaga kehangatan bakpao yang dijual kepada warga sekitar.
Mahasiswa sekarang senang mengonsumsi bakpao. Ada pergeseran konsumsi mahasiswa di lingkungan rumah kos-kosan itu. Â Biasanya para mahasiswa banyak bertebaran di rumah makan mie dan warung nasi sekitar. Tetapi, justru sekarang ini banyak mengonsumsi bakpao.
Lantas, di otak Ilham terpikirkan pula upaya menjaga kualitas bakpao yang dijajakannya. Yaitu, membikin sertifikasi halal seperti yang dilakukan makanan cepat saji. Tujuannya, dengan label halal yang diperoleh diharapkan dapat mendongkrak penjualannya ke depan.
"Gimana caranya, ya?" tanya Ilham kepada rekannya, Jamil yang sehari-hari berprofesi sebagai pengojek di lingkungan setempat.
"Nggak usah. Kecuali kalau sudah besar," kata Jamil singkat.
"Kamu bisa bantu, nggak?" tanyanya.
"Urusin yang kaya' gitu, kalau kita orang kecil, nggak dipandang. Udah sabar aja dulu," pinta Jamil sambil berlalu membawa bakpao yang masih hangat.
Ilham tak ingin kehilangan kesempatan. Selagi ada peluang, ya harus direbut. Menjual bakpao yang kini tengah naik daun di mata publik tidak boleh disia-siakan. Namun ia menyayangkan, untuk urusan sertifikasi halal baru ia sadari tidak semudah membalik sebelah telapak tangan.
Andai saja para ulama punya kepedulian dengan orang kecil, harusnya MUI turun tangan mendata pedagang kecil dan kemudian diberi bantuan. Bantuan modal saja tidak ada, apa lagi memberi sertifikasi halal. Ia pun menggerutu dalam hati, jangan-jangan bakpao yang dijualnya nanti diisukan tidak halal. Ini yang sangat dikhawatirkan.
Terlebih, kini ia tahu bahwa larisnya bakpao dalam sepekan terakhir bukan karena didasari pergeseran pola konsumsi mahasiswa. Bukan juga karena bakpao memiliki cita rasa lezat semata, tetapi lebih pada perubahan mental mahasiswa. Yaitu, adanya suatu gerakan mengonsumsi bakpao dikaitkan dengan memar kepalanya Setya Novanto.
Ilham mendapat cerita dari warga sekitar bahwa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto mengalami kecelakaan. Disebut oleh pengacaranya, Fredrich Yunadi, Â kening Ketua Umum Partai Golkar itu menderita memar yang besar. Dia memperkirakan, memar tersebut sebesar kue bakpao.
Karena disebut kue bakpao itulah dagangan Ilham jadi laris manis. Perdagangan kue bakpao ikut terpengaruh dengan sentimen pasar. Disusul lagi dengan adanya gerakan mahasiswa makan kue bakpao. Tak dipahaminya, mengapa mengonsumsi bakpao harus ada suatu gerakan. Momentumnya pun bersamaan dengan kasusnya.
Padahal, yang ia pahami, beberapa tahun lalu ada anjuran gerakan dari pemerintah agar warga sebaiknya lebih banyak mengonsumsi ikan laut. Sebab, alasan yang diangkat pemerintah, akan memberi dampak pada kesehatan bagi pertumbuhan fisik. Terutama bagi anak-anak ke depannya.
"Kok, bukan gerakan itu?" tanyanya dalam hati.
"Ah, sudahlah!"
Tetapi, apakah kondisi itu terus bertahan. Seberapa lama gerakan makan kue bakpao bertahan. Ilham makin khawatir, sebentar lagi bakpao tidak laris seiring kasus yang membelit Ketua Umum Golkar itu masuk pengadilan. Padahal, kue bakpao hasil olahannya tak kalah dengan pedagang lain.
"Dulu kan ramai. Orang dimana-mana bicara hak angket KPK. Sekarang, sampai dimana?" Ia berceloteh sendiri.
Dalam perjalanan pulang, Ilham berandai-andai. Ketika kue bakpao lagi laris, punya kaitan dengan sentimen pasar. Seperti berita-berita ekonomi di layar kaca. Hari ini saham perusahaan anu naik, besok anjlok karena sentimen pasar.
Bagi pedagang kecil seperti Ilham, itu juga bisa terjadi dalam perdagangan kue bakpao. Maklum makanan yang berasal dari Tionghoa itu pada awalnya berisi daging babi. Namun sekarang sudah tidak lagi karena varian isinya beragam: berisi kacang hijau, isi ayam, isi coklat dan jenis lainnya.
Mengingat latar-belakangnya itulah, maka kue bakpao ke depan bisa menjadi isu sensitif. Dikhawatirkan ada orang nakal ikut "menggoreng" dan menjadi isu miring.
"Ulama harus hadir. Jangan berdiam diri!" Ilham berteriak seorang diri di tengah jalan bagai orang gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H