Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menghadirkan Jurnalistik Anomali, Perlukah?

19 November 2017   06:56 Diperbarui: 21 November 2017   19:06 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inikah jurnalistik anomali. Wartawan wawancara tiang listrik. Foto | brilio.net

Jika saja para redaktur tempo doeloe masih hidup dan berkuasa hingga kini, mereka dapat dipastikan akan menunjukan arogansinya.

Sebab, mereka akan menunjukan kehebatannya atas laik dan tidaknya suatu berita untuk dipublish, disiarkan dan diterbitkan. Bisa jadi karya reporter berupa naskah yang sudah diketik secepatnya dimasukan ke tong sampah.

Jika saja masih banyak reporter tempo doeloe hingga kini masih bekerja di media massa mainstream, dapat dipastikan mereka akan menggolengkan kepala menyaksikan liputan seorang repoter hasilnya bertolak belakang.

Pasalnya, sangat jauh dari harapan yang diperintah oleh kordinator liputan. Jauh panggang dari api.

Jika saja tokoh pers perjuangan tempo doeloe masih hidup dan masih memimpin perusahaan pers, dapat dipastikan ada yang marah kerjanya setiap hari dan ada di antaranya banyak melepas tawa nggakak menyaksikan jagat jurnalistik jauh menyimpang dari prediksi, apa lagi sebagai tiang demokrasi di negeri ini.

Di zaman perjuangan dan kolonial, dari sudut historis, insan pers melalui tulisannya tampil demikian hebat. Ia seperti sosok heroik, menggelorakan semangat menumbangkan dan mengusir kolonial penjajah.

Di zaman awal kemerdekaan RI juga demikian, meski mulai tumbuh pers yang mengeritik penguasa dimusuhi. Dan pada awal 60-an, pers mulai menemukan jati dirinya dan diatur perilakunya dengan kode etik. Lanas, ke depan berikutnya, terjadi pasang-surut. Kadang insan pers ditekan dan tertekan, kadang merasa nyaman dalam perlindungan undang-undang.

Tapi, pada intinya, insan pers dalam bekerja tetap dalam koridor jurnalistik. Ia memakai bahasa Indonesia jurnalistik yang baik, mengindahkan aspek hukum dan kode etik hingga menjaga integritasnya dari potensi ancaman yang bisa menggoyahkan perusahaan pers itu sendiri. Misalnya, menyiapkan pengacara dan ahli hukum jika tersangkut sengketa hukum dan disomasi.

Pers Indonesia dalam perjalanannya kini masih ingin tetap menjaga integritas dan kepercayaannya yang dimiliki. Pers masih berkeinginan kuat sebagai penyampai informasi, pendidikan dan hiburan. Ada fungsi lain yang terdengar rada keren dan mentereng yaitu sebagai pilar keempat demokrasi. Wuih! Hebat, deh.

Di sisi lain, dan ini harus diakui bahwa peran dan fungsi pers kini mengalami degradasi. Mengapa? Nah, ini dia. Tapi, insan pers, jangan marah dulu.

Sebab, jurnalis sekarang bisa merangkap berbagai profesi: sopir, politisi, intelejen, pengusaha hingga menjadi anggota dewan sekalipun. Namun ada di antara mereka juga tak malu menjadi pelayan toko hingga tukang sol sepatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun