Di kawasan Kramat Jati, Kramat Jati, Jakarta Timur, penulis menjumpai para penjahit. Yang menarik, penjahitnya kebanyakan kaum pria berasal dari Sumatera Barat (Sumbar).
Mereka menyebut dirinya penjahit padang. Entah kapan pasar ini didominasi penjahit dari kalangan Minang. Namun mereka bekerja profesional.
Mereka mengaku daerahnya memang punya batik khas Minang, tetapi tidak sepopuler dari Jawa. Namun, ketika diminta untuk menjahit batik, - untuk pria dan wanita, - dengan model dari daerah mana pun, sanggup. Penjahit dari daerah ini memang tergolong jempolan.
Di Bukittinggi ada batik, tetapi di sana lebih terkenal pakaian bordil yang dikerjakan para ibu rumah tangga. Bordir dari Padang mungkin hanya bisa bersaing dengan bordir dari Tasikmalaya, Jawa Barat.
Memang pada hari Senin dan Kamis, di kawasan Tanah Abang, tepatnya di depan Stasiun Kereta Api Tanah Abang digelar penjualan pakaian bordir dari Tasikmalaya. Pembelinya, wuih "bejibun".
Jika saja jarak dari Bukittinggi dekat, tidak mustahil pakaian bordir dari Padang bisa "mejeng" di tempat yang sama. Bisa menjadi pesaing utama.
Lantas, mengapa kaum hawa, para ibu, lebih suka pakainnya dijahitkan dengan kaum pria?
Bisa jadi karena para penjahit Minang - seperti di kawasan Pasar Kramat Jati itu, - lebih ramah kala memberi pelayanan. Ia tidak mendikte konsumen atau pemberi pekerjaan, tetapi lebih fokus pada kualitas pelayanan.
Sedangkan penjahit wanita terkesan lebih memilih siapa yang dilayani. Kalau kelihatan kantong kurang tebal, terlihat rada merengut. Ia tidak menempatkan konsumen sebagai raja. Tapi, ini tentu tidak semua.