Menangkap koruptor itu sukar. Sama sulitnya dengan menangkap ikan lele. Tapi jika kita menyaksikan penjual ikan menakap dan membersihkan ikan tergolong rakus ini, sepertinya gampang sekali dilakukan. Â
Sebab, kala berada di pasar, sebagai pembeli turut menyaksikan cara kerja penjual ikan menangkap dari bak dan membersihkan lele dalam posisi sebagai penonton.
Dapat dipahami, seperti juga penonton pertandingan sepakbola, maka memberi komentar lebih mudah ketimbang melaksanakannya. Apa dan bagaimana cara pedagang membersihkan ikan dapat ditangkap, bagi sebagian anggota masyarakat, tentu mudah dikomentari.
Karena itu, dapat dipahami di tengah ramainya upaya menangkap koruptor kelas kakap, dari kalangan eksternal lembaga antirasuah muncul komentar beragam hingga penilaian miring.
Lihat, anggota Pansus Hak Angket mengeluarkan pernyataan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja gegabah. Penilaian itu muncul setelah KPK dinyatakan kalah dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto. Hakim tunggal Cepi Iskandar memutuskan penetapan tersangka Ketua DPR itu dalam kasus e-KTP tidak sah dan batal demi hukum.
Tatkala dalam kasus ini KPK dinyatakan kalah dalam sidang praperadilan, disusul pelaku koruptor ramai-ramai 'menyanyikan lagu' kemenangan. Esensinya, tuh lihat kerja KPK jauh dari profesional sebagai penegak hukum.
Nangkap ikan lele memang licin. Sekalipun sudah berada dalam jaring, tidak berarti mudah ditangkap. Sebab, di tanah kering pun ikan ini masih bisa bergerak, berjalan ngosek, berliuk-liuk mencari tempat aman.
Al Fatih, bocah kecil dan gemar makan ikan lele kini menjadi takut. Sebab, ketika menangkap ikan lele ia kena patil. Sejak itu, ia tak berani lagi bermain-main dengan lele di kolam rumahnya meski mengonsumsi ikan lele belum berhenti.
Para koruptor "mirip-mirip" punya kelakuan seperti ikan lele. Tatkala dalam posisi terjepit -- apalagi tatkala menghadapi kasus mega proyek seperti e-KTP -- tentu berbagai upaya ditempuh. Salah satunya pada ikan lele, menggunakan senjata pamungkasnya. Patil.
***
Ketika KPK menangkapi pelaku koruptor dengan nilai uang ratusan juta, lembaga antirasuah itu dituding tak becus lagi ngurusi korupsi kelas kakap. Ketika menjerat pelaku kelas kakap seperti e-KTP, jajaran KPK dinilai kerja tidak profesional dan gegabah dalam menetapkan tersangka.
Ketika KPK mengeluarkan pernyataan A dan B, para pelaku koruptor melakukan upaya memobilisasi opini dengan celoteh dari A hingga Z. Sepertinya KPK diposisikan selalu melakukan kesalahan dan bekerja tergopoh-gopoh.
Alasan utama para pencaci maki itu adalah lembaga antirasuah itu harus dievaluasi. Posisi KPK harus diperkuat. Ini alasan yang terus diangkat. Dalam realitasnya, pernyataan itu disusul dengan kata-kata lainnya, berujung pada pelemahan lembaga tersebut.
Betul, nangkap ikan lele sejatinya mudah jika tahu tekniknya. Semudah ketika para pedagang ikan di pasar swalayan atau pasar tradisional membersihkan ikan rakus itu dengan sayatan pisaunya.
Di negeri ini, yang warganya lagi getol menegakkan supremasi hukum, tentu seharusnya tidak sulit menangkap koruptor.
***
Media massa sering mewartakan, ketika seorang terdakwa ditanyai hakim mengenai perihal-ikhwal perkara duit, kerap kali mengaku lupa asal-usulnya. Di majelis peradilan, kata lupa dan nggak ingat sering kali terlontar.
Jauh sebelum dihadapkan di meja hijau, para koruptor kelas kakap sering melontarkan pernyataan bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat. Apa lagi menggelapkan uang rakyat.
Dan bukan satu dua orang saja, pelaku koruptor berupaya membawa kasusnya ke sidang praperadilan. Dengan harapan, perkaranya -- meski sudah menetapkan tersangkanya -- tidak berlanjut ke perkara pokok.
Barangkali kiat ini yang menjadi senjata pamungkas bagi para koruptor. Selain juga alasan sakit dan menolak untuk diperiksa.
Tapi, memang seperti pedagang ikan. Membersihkan ikan (lele) harus punya cara yang tepat. Agar tidak disengat patilnya, maka kepala ikan lele harus dipukul lebih dahulu. Setelah pingsan, ikan lele dapat dibersihkan.
Akankah kasus korupsi e-KTP terkuak seluruhnya. Semua ini sangat tergantung kepada kemampuan para petinggi KPK. Teknik menangani koruptor sudah dimiliki. Dukungan publik pun tidak makin kurang, tapi justru makin kuat.
Terpenting, jangan kena sengat patil lagi seperti yang dialami bocah kecil Al Fatih. Ikan gabus, termasuk belut dan lainnya, memang berbeda dengan ikan lele meski sama licinnya. Penanganan korupsi yang bagus memang tidak boleh bertele-tele.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H