Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Euforia Pers dan Harapan Pengembalian Marwah "Antara" sebagai Kantor Berita

29 September 2017   21:46 Diperbarui: 30 September 2017   12:30 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi dana pensiun dihadiri para jurnalis senior. Foto | Dokumen Pribadi.

Pasca-reformasi, cara awak media menyampaikan kritik lebih berani ketimbang masa Orde Baru karena kebebasan menyampaikan pendapat makin mendapat tempat dan perlindungan hukum.

Di negeri ini, kini, pers benar-benar dapat menikmati kebebasannya meski tetap harus mengindahkan kode etiknya. Pers pun makin keras bersaing antarsesamanya memperebutkan "pasar iklan" untuk membiayai hidupnya.

Media cetak secara bertahan bergeser mengembangkan website lantaran melihat pasar pembaca sudah bergeser menggunakan gawai. Masih ada perusahaan pers yang tetap mempertahankan media cetak berupa majalah dan surat kabar, tapi di sisi lain tetap menggarap pasar pembaca melalui website.

Reformasi bagi pers Indonesia, singkat kata, dapat disebut berubah total mengikuti perkembangan zaman. Sejak dulu, memang, pers tak pernah lepas dari Teknologi Informasi dan Komunikasi (Information and Communication Technologies/ICT).

Di zaman bapak-bapak kita kecil, masa kolonial, perusahaan pers masih menggunakan kertas stensilan, buletin. Sekarang sudah tidak ada. Kalau dulu awak media pandai menulis cara cepat yang dikenal steno, kini sudah tidak ada lagi yang menggunakannya.

Ini pesan Bung Karno tentang Antara. Foto | Dokumen Pribadi.
Ini pesan Bung Karno tentang Antara. Foto | Dokumen Pribadi.
Steno menurut kamus diartikan sebagai lambang huruf yang dipendekkan dan disepakati pemakaiannya, terutama dalam bidang kesekretariatan dengan maksud agar dapat menulis cepat untuk kemudian ditransliterasikan secara lengkap dalam bentuk surat dan sebagainya.

Cara menulis cepat seperti itu sekarang nggak laku bagi wartawan atau reporter. Sang jurnalis, jika ingin mendapatkan komentar cukup menggunakan perekam atau tape recorder.

Dulu, awak media kenal dengan mesin telek yang dipergunakan untuk mengirim berita. Saat konferensi internasional di luar negeri, panitia menempatkan awal media di press room. Di situ tersedia mesin telek dan mesin tik. Lalu, perkembangan zaman berubah, wartawan mengirim berita dengan faks. Sekarang, meski alat itu ada tapi lebih banyak digunakan untuk keperluan lain. Awak media lebih sering menggunakan internet.

Ini peralatan 'morse' semasa kolonial. Foto | Dokumen Pribadi.
Ini peralatan 'morse' semasa kolonial. Foto | Dokumen Pribadi.
Sekarang, jika reporter bertugas di lapangan, tidak lagi dilengkapi alat perekam yang disediakan kantornya. Ia bisa merekam dengan handphone miliknya sendiri, lantas mengetik dengan gawai miliknya sendiri lalu disampaikan ke redaksi. Dan dalam hitungan detik, sudah tersiar melalui website.

Singkat kata, awak media kini kerjanya lebih ringan. Tantangan di lapangan pun tak terlalu berat, seperti diawasi atau "dimata-matai" pihak tertentu agar tidak menyiarkan berita ini dan itu.

Kerja pers sekarang ini, di bumi pertiwi ini, terasa makin ringan. Publik pun makin cepat terpuaskan. Informasi cepat tersaji di perangkat komunikasi yang ada di tangannya, kapan dan dimana pun sejauh ada jaringan internet di tempat bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun