Seperti dipahami saat puncak haji, mobilisasi petugas haji sangat kurang. Hal itu dapat dipahami karena padatnya kota Mekkah dan sistem transportasi pun tak berjalan. Semua Jemaah, termasuk sebagian petugas, mengandalkan kemampuan fisiknya untuk menyelesaikan ritual ibadahnya. Saat itu, tenaga terkurang habis.
Perlu pula diingat bahwa pada Permenkes tersebut ditegaskan bahwa jamaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, merupakan jemaah haji dengan kriteria kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV, gagal jantung stadium IV, kegagalan fungsi ginjal kronis (cronic kidney disease) stadium IV dengan paritoneal dialysis/hemodialisis reguler, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, stroke haemorhagic luas.
Kemudian, gangguan jiwa berat, antara lain skizofrenia berat, dimensia berat dan retardasi mental berat dengan penyakit yang sulit diharap kan kesembuhan nya, antara lain keganasan stadium akhir, tuberculosis totaly drug resistance (TDR), sirosis atau hepatoma decom pensate.
Pada tulisan di atas, penulis sengaja memberi tanda hitam sekaligus sebagai pengingat tentang pentingnya syarat istithaah kesehatan haji tersebut. Jelas, bagi sebagian umat Muslim tentu paham bahwa istithaah (kemampuan berhaji) bukan saja ditentukan dari aspek finansial juga di dalamnya aspek kesehatan.
Sebagian anggota masyarakat paham bahwa peraturan baru tersebut sejatinya wujud keseriusan Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan penyelenggaraan ibadah haji bersama Kementerian Agama dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.
Hal itu sejalan dengan Undang Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji. Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan dan perlindungan jemaah haji.
Dari sekilas gambaran yang dialami Jemaah haji sekembalinya di Tanah Air, ada hal menarik jika dikaitkan dengan Permenkes tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Yaitu, istithaah kesehatan ternyata baru sebatas "filter" bagi orang-orang yang tak layak menunaikan ibadah haji.
Hal ini memang langkah maju upayan pemerintah mengurangi angka wafat di  Tanah Suci. Namun akan terasa lebih efektif jika calon Jemaah haji sebelum berangkat ke Tanah Suci diberi pemahaman yang benar tentang menjaga kesehatan dan kebugarannya. Imbauan agar tidak memforsir tenaga untuk ibadah sunah berlebihan hendaknya dicegah agar ibadah yang pokok, wukuf di Arafah tidak membawa resiko pada kesehatan yang menurun. Ibarat pohon, mereka perlu disirami secara berkesinambungan.
Agar Permenkes itu terasa sebagai "obat mujarab", perlu dorongan sosialisasi yang tepat. Permenkes ini perlu ditingkatkan sosialisasinya mengingat lagi Jemaah haji Indonesia adalah yang terbesar dibanding negara lainnya.
Sosialisasi melibatakan kalangan pimpinan informal, ulama dan ustadzah, kalangan perguruang tinggi Islam penting dilakukan. Kita berharap tahun depan angka wafat Jemaah haji dapat ditekan.