Awalnya saya tak terlalu suka menyemprotkan leher dan kerah baju dengan parfum. Belakangan kok bisa kepincut mengenakan parfum? Genitkah aku?
Tatkala bertugas di Tanah Suci dan bertandang ke sejumlah masjid di pinggir kota Mekkah, Madinah, Thaif dan Jeddah sering menghirup aroma khas minyak wangi yang dikenakan warga setempat. Orang Arab, meski itu tengah mengambil wudhu di masjid, aroma minyak wanginya masih tercium. Padahal baju gamis dan sorbannya sedang dilepas.
Ketika shalat berjamaah (baik ketika berada di Masjidil Haram dan Nabawi), kemudian melintas orang Arab dengan gamisnya, sreengg wanginya tersedot melalui hidung.
Lantas, saya berkesimpulan, jangan-jangan orang Arab nggak mandi sehari pun tak masalah. Asal, tetap mengenakan parfum. Apa pasalnya, ya karena air bersih di sana tergolong langka?
Itu dulu. Tetapi sekarang, seiring kemajuan zaman, air bersih mudah didapat di kawasan tandus, gurun pasir dan berbatu itu.
Sejak tahun 1960-an, Saudi telah mengubah air laut menjadi air bersih melalui proses desalinasi. Sedikit menyinggung desalinasi air laut merupakan istilah untuk menjelaskan penyisihan kandungan garam dan pengotor lainnya yang secara alami terdapat pada air laut. Jadi, sekarang, air laut dapat dikonsumsi setelah diproduksi besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan jemaah haji dan warga setempat pula.
Seberapa banyak produksi air bersih yang dilakukan perusahaan air minum Saudi itu, penulis tak tahu. Namun terkait dengan parfum, dalam diskusi kecil-kecilan dengan beberapa warga Arab di Mekkah dan Madinah, warga Arab memang menyukai minyak wangi. Tidak ada kaitan dengan soal sudah atau belum mandi karena kelangkaan air bersih. Gemar mengenakan wangi-wangian sudah berlangsung lama.
Coba lihat, di Jeddah ada satu kawasan pasar Al Balad. Di toko ini orang Indonesia biasa mampir. Toko Ali Murah namanya. Menyebut kata murah, bisa jadi si penjual berupaya menarik orang Indonesia untuk segera berbelanja di toko bersangkutan. Sang pemilik dengan taktik lihai, paham betul warga Indonesia paling getol berbelanja. Apa lagi Indonesia sebagai pengirim jemaah haji terbesar sepanjang tahun.
Penulis ingin meyakini cerita bahwa orang Arab gemar mengenakan parfum. Ternyata, iya. Coba jika anda punya kesempatan berkeliling pasar Al Balad ini, warga Indonesia tak mau kalah kualitasnya dengan tawaf di Masjidil Haram. Maksudnya, jika tawaf - mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali - pada kesempatan shalat di Masjidil Haram, jumlah berkeliling di Al Balad pun tak mau kalah. Tegasnya, berbelanja di kawasan itu makin sering akan semakin tahu apa saja yang dijual.
Soal wangi-wangi, di sejumlah masjid di kota Jeddah dan Thaif misalnya, banyak mengenakan bubuk kayu pengharum ruang, Bubuk ini ditempatkan di atas dupa yang dipanasi aliran listrik. Bubuk yang terbakar mengeluarkan asap tipis dan memenuhi ruang masjid. Hemmm, wangi dan nyaman rasanya. Ibadah di masjid bersangkutan terasa nyaman dan terpacu untuk berlama-lama.
Jika di Tanah Air, dupa umumnya digunakan para dukun. Di atas dupa ditempatkan bara arang, lantas ditaburi kemenyan. Maka, keluarlah asap. Kalau dalam film horor, biasanya disusul......anda pun tahu. Ini sekedar membandingkan penggunaan dan fungsi dupa. Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Memang, setiap negeri atau bangsa berlainan adat kebiasaannya.