Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta Milik Kita, Ayo Kembali!

30 Juni 2017   11:07 Diperbarui: 30 Juni 2017   18:59 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini adalah gambaran urbanisasi tempo doeloe yang dituangkan dalam sebuah lukisan pada Gedung Fatahila, Jakarta (Dokumen Pribadi)

Jakarta Milik Kita, Ayo Kembali!

Jangan takut ke Jakarta karena kota ini sejatinya milik bersama. Jakarta adalah kota perjuangan, ia dibangun dari kita dan untuk bersama. Berbagai etnis bekerja di kota ini demi untuk kemajuan negeri dan kejayaan Indonesia.

Jangan takut ke Jakarta hanya disebabkan Anda punya pendidikan rendah. Tetapi jangan lebay dengan pendidikan tinggi yang dimiliki karena banyak orang pandai di kota ini makin cerdas mengakali uang rakyat.

Jangan takut dengan razia bagi setiap warga pendatang jika memang Anda jelas warga Indonesia yang memiliki hak sama dengan warga lainnya. Setiap warga punya hak bermukim di Jakarta untuk mendapat pekerjaan, mendapat kehidupan yang layak dan nyaman.

Sejak ibukota negeri ini bernama Sunda Kelapa, berbagai etnis sudah ada bermukim di situ. Tidak ada larangan tinggal di pinggir Kali Cliwung saat itu. Sejak abad ke-12, Sunda Kelapa adalah pelabuhan kerajaan Hindu-Jawa bernama Pajajaran dengan ibukotanya saat itu di kawasan pegunungan Bogor, arah selatan dari Sunda Kelapa. Kini kerajaan itu tinggal kenangan.

Ketika penguasa Banten mengirim Fatahillah - yang dikenal pula dalam sejarah bernama Fadhillah Khan - dan berhasil mengusir Portugis, Sunda Kelapa selanjutnya berada di bawah kekuasaan Banten. Itu suatu bukti, Jakarta memang punya daya pikat sendiri.

Lantas, pada abad ke-16 Fatahillah - yang oleh Portugis dikenal sebagai Tagaril atau Falatehan - mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta atau kota kemenangan dan kejayaan. Kota ini berlanjut mengalami perubahan besar pada 1610 saat sebuah kontrak ditandatangani antara Belanda dan Pangeran Jayakarta, berisi mengizinkan VOC untuk membangun gedung di tepi timur Kali Ciliwung.

Itu pula bukti kuat bahwa kota ini terbuka karena perdagangannya yang melibatkan berbagai etnis dan suku bangsa dari berbagai negara Eropa.

Ini adalah gambaran urbanisasi tempo doeloe yang dituangkan dalam sebuah lukisan pada Gedung Fatahila, Jakarta (Dokumen Pribadi)
Ini adalah gambaran urbanisasi tempo doeloe yang dituangkan dalam sebuah lukisan pada Gedung Fatahila, Jakarta (Dokumen Pribadi)
Kelompok musik anak muda Koes Plus pernah melantunkan lagu dengan lirik sebagai berikut:

 

Di sana rumahku

Dalam kabut biru Hatiku sedih

Di hari minggu

Di sana kasihku

Berdiri menunggu

Di batas waktu

Yang telah tertentu

Reff.

Ke jakarta aku kan kembali

Walaupun apa yang kan terjadi

Kembali ke reff.

Pernah kualami

Hidupku sendiri

Temanku pergi

Dan menjauhi

Lama kumenanti

Ku harus mencari

Atau ku tiada

Dikenal lagi

Lagu itu relevan dengan pemudik yang kini tengah berjuang kembali ke Ibukota. Mereka baru saja selesai menikmati libur Lebaran atau Idul Fitri 1438 H/2017 M, guna menjalin silaturahim dengan seluruh anggota keluarga di kampungnya masing-masing.

Kata kembali ke Jakarta yang terselip dalam syair lagu itu memberi spirit bagi pemudik untuk berduyun-duyun ke Ibukota. Perjuangan kembali ke Jakata tidak ringan. Pasalnya, transportasi  angkutan: udara, laut dan darat seluruhnya padat. Itu terjadi dalam waktu yang bersamaan pula.

Kelompok musuk ini semula bernama Koes Bersaudara dan baru pada 1968 mengubah nama menjadi Koes Plus dengan personel Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, Totok Adji Rahman, Murry.  Pada 1969 – 1987, komposisi personelnya berubah dengan Tonny Koeswoyo : Lead Guitar, Keyboard , vocal. Yon Koeswoyo : Rhythm Guitar , vocal. Yok Koeswoyo : Bass Guitar , Vokal. Murry - (Kasmurry) : Drum, Vokal.

Pekerjaan bersihkan sampah tak bisa lepas dari kelompok warga berpendidikan rendah (Dokpri)
Pekerjaan bersihkan sampah tak bisa lepas dari kelompok warga berpendidikan rendah (Dokpri)
Mudik ini memang sudah menjadi ritual rutin tiap tahun. Dan kewajiban pemerintahlah memberi pelayanan maksimal. Ada mudik gratis dan balik pun gratis bagi warga yang memiliki tingkat ekonomi pas-pasan. Bagi warga yang ekonominya bagus, di luar senen-kemis, bisa memilih transportasi yang lebih nyaman seperti pesawat terbang.

Untuk memberi kemudahan, pemerintah telah berupaya memperluas jaringan jalan tol. Pelayanan di pelabuhan di tingkatkan. Di sejumlah bandara terlihat perbaikan-perbaikan nyata. Tetapi pembangunan infrastruktur itu belum sebanding dengan tuntutan pemudik yang dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat.

Orang mudik dan kembali ke ketempat asal dapat diibaratkan sebagai sebuah peristiwa pertandingan sepakbola. Penonton yang berjubel lalu bubar seusai wasit meniup pluit panjang. Apa yang terjadi, dalam waktu bersamaan, semua penonton berjejal keluar dalam beberapa pintu menuju kendaraan masing-masing. Kepadatan terjadi.

Kini bagi Aparatur Negeri Sipil (ANS), yang terlabat kerja, bakal mendapat tegurun dari inspektorat di kementeriannya masing-masing. Termasuk juga di sejumlah kantor Pemda dan badan usaha milik daerah atau negara. Jangan abaikan imbauan pulang cepat, hanya karena ingin bersama anggota keluarga di kampung berlama-lama. Atasan Anda tak mempedulikan alasan itu.

Ke Jakarta, aku kembali. Walau ngos-ngosan seperti dikejar seekor anjing di jalan, perjalanan dengan tingkat macet parah harus diliwati. Jangan tangisi semua ini, karena baru sampai di sini kemampuan para petinggi negeri membantu anak bangsa.

Nyanyikan lagu jadul di atas, semoga para pemudik memiliki semangat dan terhibur dalam perjalanan. Ayo, kembali ke Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun