Dalam pusaran era digital yang terus merangsak, transformasi yang sangat mendalam terjadi dalam tatanan ekonomi dan sosial. Teknologi digital, terutama cryptocurrency seperti Bitcoin, menjanjikan keuntungan instan bagi segelintir orang. Namun di sisi lain, ini menghadirkan tantangan besar bagi mereka yang terperangkap dalam sektor riil, di mana kemiskinan senantiasa menghantui.
Kalangan menengah-atas merayakan kekayaan hasil investasi, sementara kalangan bawah semakin terpuruk dalam siklus kesulitan. Pertanyaannya, apa yang tersembunyi di balik tirai realitas ini? Bagaimana kemiskinan, literasi digital, pendapatan, dan penyalahgunaan kekuasaan saling terhubung? Kebenaran-kebenaran apa yang sering diabaikan oleh masyarakat dalam konteks ini?
Ketimpangan Ekonomi Era Digital
Thomas Piketty, pemenang Nobel Ekonomi dan penulis Capital in the Twenty-First Century, menggarisbawahi ketimpangan ekonomi yang semakin mencolok di era digital (Piketty, 2018). Meskipun inovasi teknologi menciptakan kekayaan baru, distribusinya sering kali jauh dari adil. Kelas menengah-atas, dengan akses lebih luas kepada teknologi digital, berhasil mendapatkan keuntungan dari fluktuasi pasar cryptocurrency.
Sementara itu, pedagang kaki lima dan pekerja sektor retail terhalang untuk berinvestasi. Data dari World Inequality Report 2022 mengungkapkan bahwa 10% populasi teratas menguasai 52% dari total kekayaan global, menunjukkan ketimpangan yang mengemuka.
Rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat kelas bawah semakin memperburuk situasi ini. Penelitian UNESCO tahun 2020 menunjukkan bahwa literasi digital merupakan kunci akses peluang ekonomi di dunia maya. Tanpa keterampilan ini, individu akan terjebak dalam siklus kemiskinan dan sulit mengejar perubahan yang terjadi.
Menurut laporan Pew Research Center, hanya 26% dari mereka yang berpendapatan rendah memiliki keterampilan digital dasar, memperburuk kesenjangan yang ada. Ketidakadilan yang diungkapkan dalam analisis Piketty dan tantangan rendahnya literasi digital menyoroti perlunya tindakan segera. Kita harus menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif dalam menghadapi ketimpangan yang ada.
Penyalahgunaan Kekuasaan dan Pajak
Masalah utama tidak hanya pada ketimpangan akses teknologi, tetapi juga pada penyalahgunaan kekuasaan oleh para regulator. Dalam banyak kasus, pajak—seharusnya menjadi alat meningkatkan kesejahteraan masyarakat—justru digunakan untuk menekan kelas menengah-atas. Kritikus budaya digital, Soshana Zuboff, dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019), menunjukkan bagaimana data digunakan untuk memperkuat kontrol.
Kelas menengah-atas yang berinvestasi dalam cryptocurrency sering kali menjadi target pajak tinggi. Penghasilan mereka yang sebagian besar tidak dialokasikan untuk sektor riil menjadi sasaran empuk. Di sisi lain, oknum regulator dapat dengan mudah memanipulasi aturan demi keuntungan pribadi, menciptakan situasi di mana perpajakan tampak tidak adil dan melanggar prinsip keadilan sosial.