Jacques Derrida dalam karyanya banyak membahas tentang teks dan gramatika. Menurutnya, gramatika adalah kunci utama dalam pembentukan pengetahuan manusia. Dengan kata lain, struktur bahasa sangat mempengaruhi bagaimana kita memahami dan menginterpretasi dunia. Dalam skala besar, ini berarti bahwa kemampuan berbahasa yang baik adalah prasyarat untuk pengembangan pemikiran yang mendalam dan inovatif. Derrida berpendapat bahwa teks adalah kuasa yang membentuk pemikiran. Teks, dalam pandangannya, tidak hanya sekedar rangkaian kata. Ia menciptakan arti dan mempengaruhi cara kita menafsirkan dunia.Â
Dalam konteks AI, keefektifan sistem AI sangat bergantung pada kualitas dan ketepatan data yang dimasukkan, dimana berlaku GIGO (Garbage In Garbage Out). Tanpa penguasaan bahasa yang baik, kita tidak akan mampu mengoptimalkan potensi AI. Menurut Don Norman, pakar psikologi digital dan desain interaksi, kemampuan seseorang merumuskan pertanyaan yang tepat sangat menentukan kualitas hasil yang dihasilkan oleh sistem AI (Norman, 2021).
AI Generatif
Premis Derrida sangat relevan dalam konteks pengembangan kecerdasan buatan (AI). Chat-GPT, misalnya, bergantung pada model bahasa yang besar dan kompleks. Namun, teknologi canggih ini tidak akan bermanfaat jika pengguna tidak memiliki kemampuan gramatika yang baik. Tanpa struktur kognitif yang solid, pengguna bisa saja "dikadalin" oleh AI tersebut, bahkan menghasilkan informasi yang salah atau tidak relevan.
Tidak semua pengguna memanfaatkan teknologi tersebut secara efektif. Ketidakpahaman terhadap struktur bahasa dapat mengakibatkan kesalahan dalam mendukung keputusan dan inovasi. Data yang buruk, tidak terstruktur, atau ambigu dapat membuat proses pengambilan keputusan menjadi cacat. Hal ini menegaskan pentingnya kesadaran gramatika dalam berinteraksi dengan AI. Richard Lanham, ahli bahasa dan penulis, juga menekankan bahwa bahasa adalah alat berpikir, dan pemahaman terhadapnya adalah kunci untuk produksi ide yang inovatif (Lanham, 2014).
Keteraturan gramatikal dalam pengajaran bahasa di Indonesia masih menjadi masalah. Sebagaimana diungkapkan oleh Andreas Maryoto (Kompas.id, 29/11/24), rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia akan menghambat pengembangan AI berbasis lokal. Hal ini berkait dengan pandangan Derrida mengenai keteraturan teks sebagai syarat melawan chaos. Indonesia, dengan masalah kebahasaan yang mendasar, akan memerlukan usaha perbaikan yang berkelanjutan agar mampu merespons perkembangan AI secara maksimal.
Tuna Gramatika
Jika kita tuna gramatika --tidak menguasai tata bahasa-- kita akan kesulitan dalam menyatakan pertanyaan dengan baik. Hal ini berimplikasi pada luaran yang dihasilkan oleh AI. Prediksi yang dihasilkan oleh AI dapat menjadi tidak relevan, hanya karena pengguna tidak menyusun pertanyaan dengan benar. Di sinilah letak tanggung jawab pengguna teknologi untuk mengedukasi diri dan menyadari pentingnya gramatika dalam interaksi mereka dengan AI.
Kekacauan dalam penggunaan bahasa di ruang digital juga menjadi tantangan tersendiri. Kondo et al. dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa bahasa sosial di internet sering kali mengaburkan makna asli, yang pada gilirannya memengaruhi pemahaman dan interaksi pengguna terhadap sistem AI (Kondo, 2023).
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Linguistics and Education bertajuk "The Impact of Grammatical Errors on the Comprehension of Text: Evidence from Online Learning" menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman terhadap tata bahasa dapat menyebabkan kesalahpahaman yang signifikan dalam konteks komunikasi digital.