Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Assessor

Direktur IISA Assessment Consultancy & Research Centre.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perilaku Membuang Sampah Secara Sembarangan di GBK

20 November 2024   18:30 Diperbarui: 20 November 2024   18:35 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perilaku suporter Jepang yang membersihkan Stadion Gelora Bung Karno (GBK) setelah pertandingan (Kompas.id, 19/11/24) mencerminkan kompleksitas fenomena psikologi lingkungan, politik, dan massa yang kompleks.. Di Jepang, budaya tanggung jawab sosial yang kuat memotivasi individu untuk menjaga kebersihan, berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia, di mana kebiasaan membuang sampah sembarangan masih marak akibat lemahnya penanaman nilai kebersihan dalam masyarakat dan pendidikan.

Dari sudut pandang psikologi politik, dukungan pemerintah sangat krusial dalam menciptakan inisiatif yang efektif. Kampanye edukasi yang melibatkan masyarakat bisa berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku publik, tetapi ketidakpercayaan terhadap pemerintah sering kali menjadi penghalang. Program yang kurang konsisten dan transparan dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan.

Kunjungan Paus Franciscus ke Indonesia pada 5 September 2024 menunjukkan bahwa aspek spiritual dapat mendorong tanggung jawab sosial. Momen sakral ini memberikan dampak positif terhadap perilaku kebersihan, menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, serta nilai-nilai budaya yang mendukung, diperlukan untuk perubahan jangka panjang. Namun, untuk mencapai hasil yang berkelanjutan, diperlukan upaya yang lebih terintegrasi.

Kasus suporter Jepang di GBK menggarisbawahi pentingnya social engineering dalam membentuk perilaku sosial terkait kebersihan. Lingkungan yang bersih dapat mendorong individu untuk menjaga kebersihan, tetapi hal ini memerlukan dukungan dari pemerintah melalui penyediaan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan. Tanpa dukungan ini, sulit untuk menciptakan budaya kebersihan yang luas.

Pemerintah berperan penting dalam merancang kebijakan yang menginternalisasi nilai kebersihan. Regulasi yang efektif dan insentif positif dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap aturan kebersihan. Namun, regulasi yang tidak diterapkan secara konsisten mengakibatkan kurangnya kepatuhan. Dengan psikologi massa, pengaruh sosial positif dapat mendorong perilaku kolektif dalam menjaga kebersihan. Kesempatan langka seperti kunjungan Paus dapat memicu motivasi sosial yang signifikan.

Namun, mengapa perilaku menjaga kebersihan tidak terwujud secara konsisten di Indonesia? Kurangnya sosialisasi dan keteladanan dalam kebersihan di masyarakat dan pemerintah menjadi penyebab utama. Kehadiran tokoh berpengaruh seperti Paus dapat menggerakkan massa, tetapi ini harus diikuti dengan kebijakan kebersihan yang berkelanjutan.

Akhirnya, tanggung jawab sosial terkait kebersihan memerlukan social engineering yang cerdas. Upaya ini harus dipadukan dengan pendidikan, infrastruktur yang memadai, dan penegakan hukum yang tegas. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menciptakan kesadaran kolektif yang mendorong bukan hanya tindakan sesaat, tetapi juga perubahan perilaku jangka panjang dalam menjaga lingkungan kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun