Oleh Edy Suhardono
Dari kasus Antasari Azhar –mungkin juga akan merangsak ke pengasusan Abraham Samad, Zulkarnain, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Busyro Muqoddas—pengasusan dari status terlapor, tersangka, ke tertuduh tak pelak akan bergulir laksana bola salju, jika polisi tidak mampu mencegah saksi memanfaatkan ingatan dari saksi lainnya untuk menyatakan kesaksiannya, sehingga terjadi "kontaminasi antar-saksi".
Dalam pengasusan menuju status ketersangkaan Abraham Samad, manakala seorang saksi dibiarkan mengutip kesaksian saksi lainnya yang mengklaim melihat kejahatan yang sama, hal ini akan menciptakan “ingatan atas ingatan”, sehingga semakin banyak peluang bagi saksi-saksi diajukan untuk menyitasi kesaksian dari saksi lain; dan, dengan demikian, semakin besar kemungkinan terjadinya laporan memori yang terbangun menjadi sangat mirip dan memudahkan untuk mencapai sasaran membangun kepercayaan publik tentang kejahatan Abraham Samad.
Kepercayaan publik dibangun berdasarkan prinsip hubungan korespondensi, yakni cara menarik konklusi dari serangkaian peristiwa yang terus menerus terjadi di satu wilayah persoalan meski dalam konteks yang berlainan. Hubungan seperti ini melibatkan hasil ulasan saksi tentang keberkaitan antara stimuli dan persepsi, antara stimuli dan reaksi saraf, dan antara reaksi kegugupan dan ketersadaran penuh.
Jika kemudian ulasan para saksi ini berbaur dengan reaksi publik yang umumnya tak berpikir panjang bahwa ulasan itu merupakan “pekerjaan para saksi” dan bahwa para saksi didesain oleh sang pembuat skenario untuk berfokus membangun opini tentang orang-orang yang pantas dijahatkan; maka secara cepat dan definitif status terlapor, segera menjadi tersangka, tertuduh, dan selanjutnya terpidana lewat seremoni sidang pengadilan.
Sementara itu, jika kemudian penyidik tidak bisa menyangkal ulasan yang penyeruak ke ruang publik, sebaliknya malahan mengangkat ulasan ini sebagai justifikasi dan pembuktian atas sangkaan atau tuduhan yang diarahkan secara tendensius, maka hal ini hanya membuktikan bahwa sistem hukum di negeri ini telah sekarat dengan kerusakan lebih dari sekadar pada cara, teknik, atau metode; sehingga hal ini akan berujung ke kesalahan penuntutan.
Dalam hal ini penegak hukum telah terbenam ke dalam subjektifitasnya sendiri, sehingga secara pelan tetapi pasti seolah sedang melangkah menuju supremasi hukum; padahal yang terjadi tak lain adalah pengambil-alihan kejahatan dari yang dituduhkan kepada tersangka menjadi kejahatan dari para penegak hukum itu sendiri.
[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Hasto Bawa Sejumlah Bukti ke Komisi III DPR"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H