Mohon tunggu...
Dr Edy Purwo Saputro SE MSi
Dr Edy Purwo Saputro SE MSi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Pascasarjana dan Prodi Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Berminat pada bidang sosial-politiik dan ekonomi-bisnis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ada Apa dengan Pesta Demokrasi?

14 Februari 2024   06:21 Diperbarui: 14 Februari 2024   06:21 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Rabu 14 Pebruari 2024 sesuai jadwal dari KPU dilaksanakan hajatan 5 tahunan pesta demokrasi. Meskipun sudah ditetapkan tetapi sejumlah proses yang menyertainya justru memicu sejumlah kontroversi, termasuk yang sangat ironis adalah hasil putusan MKMK dan DKPP, selain adanya sejumlah pelanggaran selama debat dan kampanye. Oleh karena itu, beralasan jika pasca coblosan hari ini dipastikan ada sejumlah tuntutan dan gugatan dari 2 paslon lain ke paslon tertentu. Indikasi ke situ sudah terlihat sangat jelas dan pastinya akan sangat berpengaruh terhadap legitimasi hasil pesta demokrasi. Oleh karena itu, munculnya film dokumenter "Dirty Vote" menjadi catatan menarik di pesta demokrasi kali ini, termasuk juga munculnya seruan dari sejumlah kampus lewat petisi yang menyeru kepada Presiden Jokowi agar demokrasi kembali ke rel yang benar dan tidak cawe-cawe juga tidak kampanye mendukung paslon tertentu.

Pesta demokrasi yang diharapkan mampu melahirkan suksesi kepemimpinan ternyata di sisa waktu justru semakin dikebiri oleh nafsu sesaat untuk sekedar memenangkan salah satu paslon dan ironisnya Presiden justru makin tidak netral. Anehnya, meski ini sudah diperingatkan dan dikritik publik tetapi perilaku tidak netral cenderung semakin vulgar di pertontonkan ke publik. Seolah publik dianggap bodoh semua dan mudah diperdaya dengan bantuan sosial, baik dalam bentuk BLT maupun bansos beras yang dikucurkan langsung 3 bulan sekaligus. Situasi yang cenderung memanas ini makin runyam ketika Mahfud MD akhirnya mundur dari Kabinet Indonesia Maju Kamis 1 Pebruari 2024 jam 16.30 WIB. Imbasnya, terjadi aksi serupa yaitu mundurnya sejumlah tokoh dari lingkup lingkaran kekuasaan Jokowi.

Kegalauan dan kekhalutan menjelang pesta demokrasi sejatinya dimulai dari polemik dan kontroversi putusan MK yang meloloskan Gibran sebagai cawapres. Marwah pada koridor hukum benar-benar dikebiri demi nafsu sesaat untuk melanggengkan kekuasaan dan sekalgus membangun dinasti politiknya. Padahal lahirnya era reformasi sejak tahun 1998 silam tidak bisa terlepas dari semangat, spirit dan komitmen mereduksi KKN pada sejumlah aspek karena berdampak sistemik. Oleh karena itu, tumbangnya orba sangat diharapkan mampu melahirkan pemerintahan yang anti KKN. Ironisnya, yang terjadi di era reformasi justru sebaliknya, meski ada KPK tetapi kasus korupsi semakin marak di semua instansi, tidak hanya di pusat tapi juga di daerah. Bahkan, kolusi dan nepotisme di era reformasi juga semakin lugas dan culas dipertontonkan sehingga membuat muak publik. Fakta inilah yang akhirnya memicu sentimen untuk melakukan pemakzulan ke Presiden Jokowi. Sayangnya, isu pemakzulan tidak berhasil dan akhirnya kalangan dari akademisi dan kampus bersuara lantang menyampaikan petisi yang intinya agar Jokowi kembali ke jalur dan jalan yang baik dan benar dalam menjalankan demokrasi.

Gerakan suara kampus dimulai ketika sejumlah Guru Besar di UGM menyampaikan isi hati yang menolak perilaku Presiden yang tidak netral dan semakin jauh menyimpang dari koridor demokrasi. Suara kampus terus bergelora dan diikuti sejumlah kampus lain di sejumlah tempat. Ironisnya, istana memandang sinis dari aksi suara kampus dan yang terjadi adalah tuduhan kampus berafiliasi dan menjadi partisan dengan paslon tertentu. Tudingan ini justru semakin memperkeruh situasi dan sepertinya akan terus berlanjut di ikuti sejumlah kampus lainnya sampai mendekati hari H pesta demokrasi. Terkat hal ini maka Presiden Jokowi dan para pembisiknya harus mencrmati situasi yang berkembang untuk mengembalikan marwah demokrasi dan tidak memburu nafsu sesaat demi untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk juga perilaku negatif membangun dinasti politik. Padahal, dinasti politik melalui praktek KKN yang dilakukan jelas mencederai spirit di balik lahirnya era reformasi. 

Sejatinya rakyat tidaklah sebodoh yang dikira dan realitas dari muncul sejumlah suara kampus adalah fakta dibalik kegelisahan dan keresahan dari sejumlah praktek culas yang mematikan demokrasi. Jadi, munculnya film dokumenter "Dirty Vote" dan rilis hasil pilpres Exit Poll Pemilu 2024 di sejumlah negara haruslah menjadi pembelajaran. Jadi, hari ini jangan lupa pilihlah sesuai hati nurani anda karena hati nurani anda tidak akan pernah bohong meski ada tawaran dari serangan fajar, baik lembaran warna merah atau biru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun