Pesta demokrasi tinggal menunggu waktu dan iklim sospol cenderung memanas. Fakta ini berdampak sistemik terhadap ekonomi -- bisnis sehingga memicu keperilakuan yang penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, pelaku ekonomi -- bisnis cenderung wait and see sambil memetakan semua kemungkinan risiko yang terjadi baik jangka pendek maupun jangka panjang.Â
Hal ini menarik dicermati karena pesta demokrasi mendatang berjanji melahirkan pemimpin baru karena kepemimpinan Jokowi sudah habis setelah 2 periode sehingga pilpres mendatang dipastikan melahirkan pemimpin baru. Pilpres nanti tidak hanya terjadi regenerasi tapi juga re-orientasi terhadap masa depan bangsa. Oleh karena itu, jangan salah pilih (bagi yang memilih) dan pastikan keteguhan (bagi yang golput).
Golput tidak bisa disalahkan karena itu sejatinya juga pilihan nurani masyarakat. Fakta golput muncul di pemilu 1971 yang diyakini sebagai sebuah gerakan moral karena apa yang diharapkan dari penyerapan aspirasi tidak terpenuhi.Â
Muasal golput dari periode lalu dan sekarang cenderung berbeda karena di masa lalu diyakini murni gerakan moral sebagai imbas dari tidak adanya penyerapan aspirasi dalam wadah politik formal, tetapi di masa kemudian, terutama di era reformasi kecenderungan golput lebih dimaknai dari kejenuhan berdemokrasi dan tidak adanya perubahan yang signifikan dari hasil pesta demokrasi itu sendiri. Selain itu, banyaknya kasus korupsi dan OTT oleh KPK akhirnya juga memacu perilaku golput.
Tidak bisa dipungkiri bahwa era reformasi yang menumbangkan orde baru dengan ada tuduhan maraknya KKN ternyata justru berbenturan dengan realitas yang terjadi karena KKN di era reformasi sangatlah parah.Â
Bahkan, dinasi politik dan politik dinasti semakin subur terjadi. Regenerasi kepemimpinan dan penguasaan politik -- demokrasi di berbagai daerah cenderung hanya berganti dan bergulir dari bapak ke istri atau sebaliknya istri ke suami lalu ke menantu, anak, ponakan dan kerabatnya.Â
Bahkan, jejaring di kursi dewan wakil rakyat juga berkutat seputar keluarga. Artinya, kekuasaan demokrasi - politik telah dicengkeram oleh Sang Penguasa tertentu. Meski demokrasi langsung tetap saja realitas itu mencederai makna dan hakiki demokrasi.
Fakta diatas menjadi pembenar ketika mereka yang melek demokrasi - politik akhirnya memilih golput karena aspirasinya tidak bisa lagi tersalurkan. Golput di era reformasi ini tidak lagi karena faktor gerakan moral dan idealisme tetapi karena fakta kejenuhan yang berdampak terhadap rasa kecewa dari hasil demokrasi itu sendiri.Â
Data menunjukan pada pemilu 2019 ternyata kasus golput termasuk yang terendah, terutama dibandingkan pada 2004. Data BPS pada 2019 angka golput 34,75 juta (18,02% dari total pemilih terdaftar) dan pada 2014 jumlah golput 58,61 juta orang (30,22%).Â
Prediksi pada pesta demokrasi di tahun 2024 menarik dicermati, terutama karena dominasi pemilih muda -- milenial di era now yang semakin melek teknologi dan mengetahui semua rekam jejak digital para petarung demokrasi. Data KPU 56,4% pada pesta demokrasi 2024 yaitu dari kaum muda -- milenial dan di sisi lain ada prediksi golputnya sekitar 11,8%.
Terlepas dari kalkulasi golput, pastinya para pelaku ekonomi bisnis masih wait and see terhadap pelaksanaan pesta demokrasi. Padahal wait and see sangat rentan terhadap daya tarik dan realisasi investasi. Data BKPM menegaskan realisasi investasi sampai semester I-2023 naik 16,1% dibanding periode yang sama tahun 2022 karena realisasinya adalah Rp.678,7 triliun.Â