PENDAHULUANÂ
Demokrasi menjamin setiap warga Negara untuk berpartisipasi dalam politik secara setara, termasuk hak memilih maupun dipilih untuk perempuan memiliki peluang besar untuk menjadi figure pemenang sebagaimana laki-laki baik dalam bursa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Legislatif maupun dalam pemilihan kepala daerah.Â
Momok bagi perempuan bahwa politik itu kotor, sedikit demi sedikit terkikis oleh waktu, seiring berjalannya peningkatan pemahaman masyarakat tentang demokrasi dan wacana perempuan harus memiliki keterwakilan maksimal 30%, walaupun dalam faktanya perempuan belum mampu mencapai target tersebut.Â
Selain karena lemahnya UU pemilu, juga karena tradisi berpolitik dan berpartai yang belum bersandarkan pada nilai demokrasi yang belum memungkinkan berjalannya roda partai secara aspiratif dan beroreantasi kerakyatan. Keberadaan perempuan dalam kepengurusan partai berfungsi domestik, lebih banyak diposisikan  dalam jabatan yang bersinggungan dengan urusan logistik dan kesekretariatan.
[1] Hanya sekedar sebagai pelengkap kepengurusan, dalam hal pengambilan kebijakan masih belum dilibatkan secara penuh. Disisi lain juga bahwa perempuan masih menjadi komoditas politik terutama menjelang pemilu. Dengan jumlah yang lebih besar dibanding dengan laki-laki, suara perempuan menentukan siapa dan partai mana yang akan menjadi pemenang. mobilitas politik dalam kampanye yang digelar para calon legislatif, calon presiden maupun calon kepala daerah menjelang pilkada merupakan indikasi belum ada kemajuan signifikan yang dicapai oleh organisasi perempuan. Wibowo, (2006).Â
Konsep Women in Development (WID) lebih menekankan kepada pelibatan perempuan pada proses pembangunan, dalam hal ini ruang produksi. Perempuan dan laki-laki dianggap memiliki kualitas dan kapabilitas yang sama dalam sektor produksi, baik pertanian maupun industri. (Razzavi dan Miller, 1995: 5).
Konsep GAD bertujuan untuk membongkar budaya patriarki, sekat yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan dari berbagai aspek seperti aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan hingga lingkungan. Dalam hal ini, tidak ada lagi pembatasan ranah laki-laki maupun ranah perempuan, keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dalam hal ini, kesetaraan harus diprioritaskan. (Razzavi dan Miller, 1995 : 6).Â
Demikian halnya yang terjadi di Indonesia. Arus besar munculnya pemahaman adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang termasuk politik semakin menguat pasca reformasi 1998 dengan diusungnya Megawati menjadi calon Presiden oleh PDI-P pada pemilu tahun 1999. Suatu hal yang sangat sulit terjadi dan dapat ditemui di era Orde Baru (Orba). Satriawan, (2018).Â
Dilihat dari data tersebut bahwa seluruh partai politik peserta pemilu telah memenuhi keterwakiln 30% perempuan dalam kepengurusan partai politik di tingkat pusat. Pemenuhan kuota ini tentu menjadi harapan untuk keterwakilan perempuan di dalam pencalonan dan juga pada calon terpilih.
 Pada awalnya Partai Golkar dan PBB hampir tidak dapat menjadi peserta Pemilu 2014 karena tidak mencukupi keterwakilan perempuan, Partai Golkar hanya menempatkan 18% keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik sementara PBB hanya menempatkan 12% keterwakilan perempuan di. Menjelang Pemilu 2014 terdapat perubahan undangÂundang pemilu menjadi.UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif.Â
Pada Pemilu 2004 tindakan afirmasi dilakukan melalui penggabungan sistem kuota dengan aturan nomor urut dalam pemilu. Hasilnya sebanyak 61 perempuan (11,09%) masuk sebagai anggota dewan dari total 550 anggota Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sementara pada pemilu 2009, diterapkan aturan kuota dan zipper system yang menghasilkan 101 perempuan (17,86%) anggota DPR dari 560 total anggota DPR RI. Untuk pemilu 2014 ini tetap berlaku aturan yang sama, sistem kuota dengan zipper system. Elisabeth Anita & Dhewi Haryono., (2014).Â