Pada saat ini sebagian besar warga di Gorontalo mulai mempersiapkan ‘Tumbilotohe’ perayaan malam pasang lampu, yang menjadi tradisi setiap akhir bulan ramadhan. Persiapan yang dilakukan warga diantaranya lampu minyak botol dan menancapkan rangkaian kayu atau bambu untuk menghias lampu tersebut.
Tumbilotohe yang berarti pasang lampu, yaitu tradisi menyalakan lampu atau malam pasang lampu pada saat menjelang Magrib hingga pagi hari. Tradisi ini merupakan tanda bakal berakhirnya bulan suci Ramadhan, telah memberikan inspirasi kemenangan bagi warga Gorontalo. Pelaksanaan Tumbilotohe biasanya dilakukan pada hari ke-28,29 dan ke-30 Ramadhan atau selama 3 malam terakhir terakhir sebelum menyambut kemenangan di hari Raya Idul Fitri. Suasana di tengah nuansa kemenangan, disaat langit gelap karena bulan tidak menunjukkan sinarnya, telah meyakini masyarakat untuk merefleksikan eksistensi diri sebagai manusia.
Acara ‘Tumbilotohe’ di setiap desa atau wilayah memiliki ciri khas lampu tertentu, tergantung kreasi dan kesepakatan masyarakat setempat. Biasanya lampu minyak tanah dihias di pekarangan rumah membentuk seperti masjid,kaligrafi, maupun nama.
Pemasangan lampu tradisional tersebut juga diletakkan pada rangkaian kayu dan berderet di sepanjang jalan. Tradisi ‘Tumbilotohe’ yang digelar pada tiga malam di penghujung ramadhan itu biasanya juga diperlombakan oleh pemerintah. Meski demikian, tradisi yang diperingati secara besar-besaran ini juga membutuhkan pasokan minyak tanah dalam jumlah besar.
[caption id="attachment_131574" align="aligncenter" width="538" caption="Tumbilotohe (foto my.opera.com)"][/caption]
Menurut sejarah kegiatan Tumbilotohe sudah berlangsung sejak abad XV sebagai penerangan diperoleh dari damar, getah pohon yang mampu menyala dalam waktu lama. Damar kemudian dibungkus dengan janur dan diletakkan di atas kayu. Seiring dengan perkembangan zaman dan berkurangnya damar, penerangan dilakukan dengan minyak kelapa (padamala) yang kemudian diganti dengan minyak tanah.
Setelah menggunakan damar, minyak kelapa, kemudian minyak tanah, Tumbilotohe mengalami pergeseran. Hampir sebagian warga mengganti penerangan dengan lampu kelap-kelip dalam berbagai warna. Akan tetapi, sebagian warga masih mempertahankan nilai tradisional, yaitu memakai lampu botol yang dipajang di depan rumah pada sebuah kerangka kayu atau bambu. Saat malam tiba, “ritual” Tumbilotohe dimulai. Kota tampak terang benderang. Nyaris tidak ada sudut yang gelap. Keremangan malam yang diterangi cahaya lampu-lampu botol di depan rumah- rumah penduduk tampak memesona.
Kota Gorontalo berubah semarak karena lampu-lampu botol tidak hanya menerangi halaman rumah, tetapi juga menerangi halaman kantor, masjid. Tak terkecuali, lahan kosong petak sawah hingga lapangan sepak bola dipenuhi dengan cahaya lampu botol. Masyarakat seolah menyatu dalam perasaan religius dan solidaritas yang sama. Di lahan-lahan kosong nan luas, lampu-lampu botol itu dibentuk gambar masjid, kitab suci Al Quran, sampai tulisan kaligrafi.
Tumbilotohe juga menjadi semacam magnet bagi warga pendatang, terutama warga kota tetangga Manado, Palu, dan Makassar. Banyak warga yang mengunjungi Gorontalo hanya untuk melihat Tumbilotohe. Sepanjang perjalanan di daerah Gorontalo maka kita akan menyaksikan Tumbilotohe dari berbagai ragam bentuk. “Sangat indah apabila kita berjalan pada malam hari” itulah ungkapan pada kebanyakan orang yang memanjakan mata sepanjang perjalanan menikmati lampu-lampu setiap rumah, kantor dan masjid.
Mudah-mudahan acara ‘Tumbilotohe di Gorontalo tersebut akan berlangsung dengan aman dan tertib sehingga menciptakan suasana yang benar-benar menjadi momentum paling indah untuk menyadarkan diri kita sebagai fitrah ciptaan Allah SWT. Amin YRA.-
*(Sumber dari berbagai media)