Hari Kebangkitan Nasional ke 103 tahun ini diperingati dengan thema “Melalui Harkitnas ke 103 Kita Tingkatkan Semangat Kebangsaan Dalam Keanekaragaman Latar Belakang Dan Budaya Bangsa”. Hari Kebangkitan Nasional tersebut tidak dapat dipisahkan dari hari kelahiran Boedi Oetomo, karena organisasi inilah yang merintis jalannya perjuangan kemerdekaan Indonesia secara terencana dan teratur. Dan kelahiran Boedi Oetomo yang monumental terjadi di salah satu ruangan sebuah gedung bernama STOVIA.
STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia, adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia (saat ini Jakarta) pada zaman kolonial Hindia-Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Berdirinya STOVIA
Pada tahun 1848 Pemerintah Kolonial Belanda merencanakan penyelenggaraan pendidikan atau semacam kursus juru kesehatan sehubungan dengan kurangnya tenaga juru kesehatan untuk menghadapi berjangkitnya berbagai macam penyakit berbahaya di wilayah-wilayah jajahannya. Pemerintah kolonial menetapkan perlunya diselenggarakan suatu kursus juru kesehatan di Hindia Belanda. Dan pada tanggal 2 Januari 1849, dikeluarkanlah Surat Keputusan Gubernemen no. 22 mengenai hal tersebut, dengan menetapkan tempat pendidikannya di Rumah Sakit Militer (saat ini RSPAD Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia (saat ini Gambir dan sekitarnya).
Pada tahun 5 Juni 1853, kegiatan kursus juru kesehatan ditingkatkan kualitasnya melalui Surat Keputusan Gubernemen no. 10 menjadi Sekolah Dokter Djawa, dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusannya berhak bergelar “Dokter Djawa” akan tetapi sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar.
Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa yang terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (atau Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi), lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (atau Sekolah Dokter Pribumi). Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia) karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja, termasuk penduduk keturunan “Timur Asing” dan Eropa, sedangkan sebelumnya hanya untuk penduduk pribumi. Pendidikan dapat diperoleh oleh siapa saja yang lulus ujian dan masuk dengan biaya sendiri.
Boedi Oetomo
Ketika itu bangsa Indonesia yang dijajah oleh Belanda, hidup dalam penderitaan dan kebodohan selama ratusan tahun. Bahkan tingkat kecerdasan rakyat, sangat rendah. Hal ini adalah pengaruh sistem kolonialisme yang berusaha untuk “membodohi” dan “membodohkan” bangsa jajahannya.
Politik ini jelas terlihat pada gambaran berikut:
1. Pengajaran sangat kurang, bahkan setelah menjajah selama 250 tahun tepatnya pada 1850 Belanda mulai memberikan anggaran untuk anak-anak Indonesia, itupun sangat kecil.
2. Pendidikan yang disediakan tidak banyak, bahkan pengajaran tersebut hanya ditujukan untuk menciptakan tenaga yang bisa baca tulis dan untuk keperluan perusahaan saja.