(Gambar dari : Google)
Gerald seorang warga Negara Inggris penderita Kanker telah meminta untuk dirinya dilakukan euthanasia atau suntik mati. Euthanasia dilakukan 1 Januari 2011, namun sebelumnya pada bulan November 2010 ia telah menyatakan persetujuannya pada para kru BBC Two untuk mendokumentasikan detik-detik kematian dirinya. Sebenarnya detik-detik kematian adalah peristiwa sakral yang tak seharusnya jadi tontonan. Namun Gerald telah meminta agar detik-detik kematiannya disiarkan televisi agar orang tahu bagaimana saat-saat kematian itu terjadi.
BBC Two, sebuah program televisi di Inggris berencana akan menayangkan detik-detik kematian Gerald, pasien kanker yang berusia 84 tahun. Kanker yang diderita pria tersebut sudah mencapai stadium terminal atau menyebar ke seluruh tubuh dan menurut medis sudah tidak mungkin dapat disembuhkan. Atas permintaannya sendiri, Gerald minta dilakukan euthanasia atau suntik mati. "Saya tidak ingin mati, tapi itu pasti terjadi kecuali ada mukjizat. Saya tidak akan bertahan lama-lama. Saya tidak takut," pesan Gerald pada para kru dan produser film dokumenter tersebut sebelum meninggal.
Alhasil, kematian Gerald akan mengisi acara ‘Inside the Human Body’ episode kedua yang segera ditayangkan BBC Two dalam waktu dekat ini. Sang produser acara, Sir Terry Prachett berharap film dokumenter ini bisa membuka wawasan orang tentang kematian, seperti dikutip dari Telegraph, Kamis (28 April 2011). Banyak yang menilai tayangan kematian di TV tidak dibenarkan. Tapi pihaknya ingin mengangkat kematian yang damai dan natural dari sudut pandang orang-orang yang pekerjaannya dekat dengan kematian.
Sudah dapat diduga, rencana Prachett langsung mendapat kecaman terutama dari kalangan aktivis anti-euthanasia. Dr Peter Saunders, direktur kelompok anti-euthanasia Care Not Killing mengatakan tayangan tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan. Namun juru bicara BBC Two mengatakan bahwa tayangan kematian yang damai seperti yang dialami Gerald akan membuka wawasan orang tentang kematian. Apalagi, alasan Gerald untuk meminta euthanasia cukup masuk akal karena tubuhnya sudah tidak berfungsi secara normal.
Secara manusiawi kematian adalah sesuatu yang sangat pribadi dan personal. Peristiwa ini sudah sangat sensitif tanpa harus ditayangkan secara luas di televisi. Permohonan euthanasia atau suntik mati atas pasien pernah menjadi trendi di Indonesia yaitu dengan mencuatnya permohonan tersebut di media cetak maupun elektronik. Dan sempat menjadi bahan pembahasan dan pembicaraan yang ramai. Apalagi sebagian masyarakat telah menghubung-hubungkannya dengan istilah hak asasi manusia.
Jika euthanasia atau suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, memang akan berbeda pendapat dalam menjawabnya antara pro dan kontra terhadap pelaksanaan euthanasia atau suntik mati tersebut. Hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat menakutkan bagi setiap orang, karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit menentukan apa sebenarnya makna yang dikehendaki oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di negara Inggris yang telah melegalkan euthanasia atau suntik mati pada prinsipnya bukan merupakan kesepakatan bulat dikalangan pemerintahannya, karena disatu sisi masih ada yang menolaknya dengan alasan terkait dengan hak asasi manusia.
Namun apapun alasannya dalam agama Islam telah mengatur bagi mereka yang ingin mengakhiri hidupnya baik atas pemintaan sendiri maupun atas pertolongan orang lain (tim medis). Dalam Islam hal tersebut jelas sangat dilarang. Karena mempercepat kematian adalah sama dengan bunuh diri. Dan bila yang memohonnya itu orang lain berarti sama dengan membunuh. Jangankan masalah mempercepat kematiannya, berdoa untuk minta dipercepat kematiannya-pun sangat tidak diperbolehkan. Demikian, semoga bermanfaat !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H