Perkembangan Konsep “Tanah Air” dalam sajak-sajak Muhammad Yamin
Oleh Edy Nugraha
Pada awal tahun 1920, muncul kesadaran bagi Belanda dengan melakukan politik etis (balas budi) akibat penjajahan yang selama ini dilakukannya. Salah satu kebijakan dari politik etis atau politik balas balas budi itu yaitu dengan adanya pendirian sekolah-sekolah di Indonesia. Akibatnya, muncullah kaum-kaun intelektual yang membuka mata untuk membuat suatu gerakan nasional yang berujung pada satu tujuan, yaitu kemerdekaan. Salah satunya yaitu Budi Utomo, yang kemudian bermunculan organisasi lainnya seperti Serikat Islam, Indische Partij, dan Muhammadiyah.
Organisasi-organisasi nasional itu muncul pula di daerah-daerah. Di antaranya adalah Jong Sumatera, Jong Java, Jong Celebes, dan Jong Sunda. Seiring dengan itu, muncullah taman bacaan rakyat yang bertujuan untuk membuat bacaan-bacaan untuk rakyat pada tahun 1917 dan berubah nama pada 1918 menjadi Balai Pustaka. Dalam hal ini, Balai Pustaka menyediakan majalah berbahasa daerah maupun bahasa melayu.. Salah satu penyair yang terkenal pada masa Balai Pustaka tersebut adalah Muhammad Yamin.
Muhammad Yamin lahir di Sawahlunto, 23 Agustus 1903. Dia adalah pemuda Sumatra yang gemar menulis sajak-sajak. Sajak-sajaknya bersifat nasionalisme, yaitu kecintaannya terhadap tanah air yang dimuat dalam majalah Jong Sumatera (Tasai, dkk. 2002: 98). Sajak pertamanya adalah “Tanah Air” yang dimuat di Jong Sumatera Nomor 4 Tahun III, 1920. Berikut merupakan bait pertama sajak “Tanah Air”:
Pada batasan bukit barisan
Memandang Aku, ke bawah memandang
Tampaklah hutan rimba dan ngarai
Lagipun sawah, sungai yang permai
Serta gerangan lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku
Dari bait pertama sajak “Tanah Air” tersebut, Muhammad Yamin mendeskripsikan kekaguman dan kecintaannya akan alam tanah airnya. Namun, konsep “tanah air” dalam sajak tersebut adalah Sumatera (Waluyo, 1987: 209). Hal tersebut diperkuat dalam sajak Yamin laainnya yang mengangumi bahasa tanah kelahirannya itu, yang dimuat pada majalah Jong Sumatera, Nomor 2, Tahun IV, Februari 1921, yaitu “Bahasa, Bangsa”. Berikut merupakan tiga bait dalam sajak tersebut.
Terlahir di bangsa berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya
Bernafas kita panjangkan
Dalam bahasa sambungkan jiwa
Di mana Sumatra di situ bangsa
Di mana Perca di situ bahasa
Dari puisi di atas dapat dilihat bahwa Yamin sangat mengagumi bangsanya, yaitu Sumatera, yang tertera dalam “Di mana Sumatra di situ bangsa” dan mengagumi bahasa daerahnya, “Di mana Perca di situ bahasa”. Soal bahasa, rupanya Muhammad Yamin merupakan pelopor dalam menulis sajak-sajak berbahasa Melayu. Yamin menganggap bahwa perlunya mengangkat bahasa Melayu—yang kemudian berubah menjadi bahasa Indonesia pada kongres bahasa I—sebagai hasil karya bangsa (Pane, 1954: 20). Selain kedua sajak tersebut, sajak-sajak lain Yamin pada masa 1920-1922 adalah “Permintaan”, “Cita-cita”, “Cinta”, “Asyik”, “Pagi-pagi”, “Gembala”, “Awan”, “Tenang”, “Gubahan”, “Perasaan”, “Keluhan”, “Ibarat”, Kenangan”, “Gamelan”, “Gita Gembala”, “Kemegahan”, dan “Niat”. Semua sajak tersebut dikumpulkan oleh Armin Pane dalam Sajak-sajak Muda tahun 1954.
Namun seiring perkembangan pergerakan nasional organisasi-organisasi pada masa itu, tepat pada 1928 hasrat-hasrat pemuda dalam menyusun persatuan diutarakan dalam Kongres Pemuda tahun 1928, yang melahirkan sumpah pemuda yang berbunyi: ”Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Pada tahun 1928 pulalah Yamin menghasilkan puisi yang berjudul Indonesia Tumpah Darahku.Semangat-semangat nasionalisme masih menjadi dalam puisi tersebut.Sajak tersebut berjumlah 87 bait, tiap barisnya berisi 7 baris. Adapun bait pertama dan kedua dalam sajak tersebut adalah
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya.
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya tanah airku
Jelaslah, pada bait pertama dan kedua tersebut menjelaskan bahwa Yamin sangat mengagumi dan mencintai pula tumpah darah dan tanah airnya, Namun “tanah airnya” kini meluas, bukan hanya Sumatra, melainkan menjadi kecintaannya terhadap Indonesia, yang terdapat dalam kutipan “tumpah darahku Indonesia namanya” dan “Indonesia namanya tanah airku”.
Sumber:
Pane, Armin. 1954. Sajak-sajak Muda Mr. Muhammad Yasin. Jakarta: Firma Rada
Tasai, S. Amran, dkk. 2002. Semangat Nasionalisme dalam Puisi Sebelum Kemerdekaan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Naional
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
Yamin, Muhammad. 1928. Indonesia Tumpah Darahku. Bukit Tinggi: N.V. Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H