Mohon tunggu...
Edy Nugraha
Edy Nugraha Mohon Tunggu... -

Pengajar Bahasa Indonesia di salah satu sekolah di Jakarta | Menaruh minat besar pada bahasa, budaya, filsafat, dan pendidikan |.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Narasi Kematian atas Beberapa Kematian

10 Juli 2012   13:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Minah Tetap Dipancung”: Narasi Kematian atas Beberapa “Kematian”

oleh Edy Nugraha

Ada yang tak lazim. Ketika semua terpaku pada suatu bentuk dan suatu tema, semuanya menjadi mainstream. Tapi ada yang tak lazim. Ya ini bukan rahasia lagi. Puisi Denny J.A. memang tak lazim. Bagaimana bisa sebuah puisi bisa menghabiskan berlembar-lembar halaman untuk membacanya. Tetapi di situ kemenarikannya. Salah satu “ketaklaziman” yang dipunya Denny JA adalah puisi yang berjudul “Minah Tetap Dipancung”. Bentuknya unik. Temanya pathetic. Membaca puisi ini seperti menyaksikan pentas di imajinasi perihal narasi kematian yang di dalamnya ada beberapa “kematian”.

Puisi ini berkisah tentang Minah yang dipancung karena membunuh dengan membela diri ketika mau diperkosa oleh majikannya di Arab. Di awal-awal puisi kita akan hanyut pada gaya bercerita Denny JA yang seakan-akan dia sedang bernarasi, berkisah tentang suatu cerita. Fragmen pertama menyedihkan karena kita akan sadar bahwa siapa sangka, sang Aku, yaitu Minah bercerita tentang kematiannya sendiri, yang tertulis dalam:

“Kini aku sudah mati
Algojo memenggal leherku
Karena telah membunuh majikan
Yang berulang kali memperkosaku
Dan menyiksa jiwaku.

Dzikir itu kulakukan semalaman
Berharap masih ada mukjizat
Yang bisa menyelamatkanku;
Aku masih ingin hidup!
Namun, hukum dunia
Lebih kejam dari yang kuduga.
Kemarin aku mati
Dipancung, tepat di leherku.”

Minah adalah sebuah arwah yang baru meninggal kemarin karena dipancung. Sudut pandang dalam fragmen pertama ini mengingatkan kita pada sudut pandang Raumanen yang berkisah ketika dia jadi arwah. Bedanya, itu dalam novel. Lantas, ini dalam puisi.

Puisi ini narasi kematian yang di dalamnya ada beberapa “kematian” pula. Pertama, kematian harapan Minah untuk pengharapan hidup yang lebih baik. Minah berharap bahwa jika dia menjadi TKW nanti, dia akan mendapat penghidupan yang lebih baik, termasuk bagi keluarganya. Hal tersebut terdapat dalam:

Aku pantas hidup lebih baik.
Tekadku tak terbendung
Harapanku melambung
Membubung dibawa angin gurun:
Menjadi TKW aku!”

Namun harapan itu sirna ketika dia sudah bekerja malah gajinya tidak dibayar sepeser pun. Kematian lain adalah kematian hati nurani. Secara hukum Arab, jika membunuh seseorang, harus dihukum dengan hukuman mati. Tapi ada yang luput dalam kasus Minah ini. Hati Nurani. Kemanusiaan. Apa salah jika membela diri dari kasus perkosaan, sementara Minah tanpa maksud membela diri dia tidak sengaja membunuh majikannya yang sebenarnya lebih dulu mengancam dengan membawa pisau, yang terekam dalam

“Entah dengan kekuatan apa
Aku sebut nama Allah,
Aku rebut pisau itu
Kutancapkan tepat di perutnya.”

Selain itu, negara dalam hal ini, Indonesia, juga mengalami kematian dalam memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya, yang terdapat dalam

Pemerintah memberikan tanggapan
Tapi untuk kasusku,
Itu sudah ketinggalan kereta.
Upaya hukum telat
Upaya diplomasi politik tak dirintis dari awal
Dan tidak ada pembelaan di pengadilan –
Ya, ya, harus aku jalani
Hukuman pancung.
Ya, ya, aku harus dipancung!”

Pemerintah dalam kasus ini terkesan lambat dalam membela warga negaranya di negara lain. Hal ini fatal. Sebab, akibat kasus ini, satu nyawa mati. Bukan satu nyawa orang biasa, tapi dia pahlawan. “Pahlawan devisa. Berharga bagi Negara”.Di akhir kisah, ketika hari terakhir sebelum dipancung pun Minah sudah mengalami “kematian”. Kematian akan harapan terakhirnya sebelum dipancung, yaitu bertemu keluarganya: anak dan suaminya. Harapannya tidak bisa terlaksana dan dia hanya bisa membayangkan

“Coba kupeluk bayangan suamiku
Bayangan anakku
Hangat terasa – aku tersenyum
Dan itu senyumku yang terakhir”

Sekali lagi, puisi “Minah Tetapi Dipancung” inimerupakan narasi kematian atas beberapa “kematian”. “Kematian” harapan penghidupan yang layak bagi Minah, “kematian” hati nurani, “kematian” negara dalam melindungi warga negaranya, “kematian” harapa Minah bertemu keluarganya. Yang terpenting segala bentuk “kematian” ini patutnya memberi kita memahami kehidupan. Dan puisi ini berhasil akan hal itu, membuat kita sadar bahwa pada mulanya yang hidup, pada akhirnya adalah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun