Mohon tunggu...
Edy Nugraha
Edy Nugraha Mohon Tunggu... -

Pengajar Bahasa Indonesia di salah satu sekolah di Jakarta | Menaruh minat besar pada bahasa, budaya, filsafat, dan pendidikan |.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Sastra Undang-undang Melayu Lama

24 Agustus 2011   05:40 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 2184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mengenal Sastra Undang-undang Melayu Lama

oleh: Edy Nugraha

Salah satu cabang naskah sastra Indonesia lama—biasa dikenal dengan sastra Melayu Lama—yang menarik perhatian adalah sastra undang-undang, di samping sastra sejarah, cerita epos, dan lainnya.

Yang dimaksud dengan undang-undang dalam sastra undang-undang bukan seperti dalam bahasa Inggris yang disebut law, tapi adat kebiasaan yang dipakai sejak zaman dahulu secara turun-temurun yang biasa disebut customary law (Djamaris, dkk. 1981:3).

Winstedt (dalam Djamaris, dkk. 1981: 4) telah membicarakan beberapa hasil sastra undang-undang, yaitu Undang-undang Melaka, Undang-undang Pahang, Undang-undang Kedah, Undang-undang Perak, dan Undang-undang Johor. Liaw Yock Fang (1975: 270-284) membicarakan tujuh buah hasil sastra yang berisi undang-undang, yaitu Undang-undang Malaka, Undang-undang Laut, Undang-undang Minangkabau, Undang-undang Pahang, Undang-undang Perak, Undang-undang Minangkabau Sungai Ujung (Negeri Sembilan), dan Undang-undang 99.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan daftar naskah dan gambaran isi naskah Undang-undang Melaka, Undang-undang Laut, Undang-undang Minangkabau, Undang-undang Palembang, dan Undang-undang Kedah. Undang-undang Perak, Undang-undang Pahang, Undang-undang Johor, dan Undang-undang 99 tidak akan dijelaskan  karena naskah-naskah ini banyak mendapat pengaruh yang besar dari undang-undang yang akan dibahas ini (Liaw Yock Fang, 1991: 282-284).

1. Undang-undang Melaka

Menurut Winstedt, Undang-undang Melaka disebut juga Risalat Hukum Kanun. Undang-undang tersebut muncul akibat pengaruh orang-orang terpelajar Melayu di negeri Melaka (Winstedt dalam Hassan, 2008: 3).

Naskah Risalat Hukum Kanun disimpan di Jakarta, yaitu di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), menurut Katalogus Amir Sutaarga dkk, yaitu Ml. 154 dan W. 13. Menurut Katalogus von Ronkel, terdapat satu naskah lagi di Jakarta, yaitu di Lembaga Kebudayaan Indonesia, yang bernomor Ml. 55.

Risalat Hukum Kanun yang diterbitkan Ph. S. von Ronkel ada yang mengandung 27 pasal. Menurutnya, ini bukan pembagian yang asli, yang berupa hanya 19 pasal pada naskah yang ada di Jakarta. Naskah yang mengandung 27 pasal adalah Naskah Leiden Cod. 1705 dan naskah Jakarta (collectivie w.d.w 13).Naskah-naskah yang mengandung 44 pasal banyak sekali, misalnya naskah Leiden, Cod. 175 (1), Cod. 3199 (1), Cod 7077, dll.

Undang-undang Melaka atau disebut juga Risalat Hukum Kanun berisi:


  1. Pasal 1-5 mengenai pantangan memakai pakaian dari kuningan dan tipis, pantangan menggunakan kata seperti patik, kurnia, dan anugerah, mengenai hukum jenayah, dan hukum membunuh.
  2. Pasal 6-10 tentang ketentuaan membunuh, yaitu orang yang mengamuk boleh dibunuh, bendahara, tumenggung, syahbandar, dan nakodah boleh membunuh dengan izin raja, jika mencuri orang dipotong tangannya, hukum menampar orang, dan hukum membawa orang lari.
  3. Pasal 11-15 mengenai ketentuan hukuman bagi orang yang mencuri, hukum menawar anak atau istri orang, hukum meminjam hamba atau binatang orang
  4. Pasal 16-19 mengenai hukum menolong sahabat, hukum orang yang menyuruh orang lain menampar atau membunuh, hukum angkara—bermaharajalela dan menawar tunangan orang—dan hukum jual menjual buah.

2. Undang-undang Laut

Sebenarnya, Undang-undang Laut merupakan bagian dari Undang-undang Melaka, hanya saja Undang-undang Melaka berbicara tentang undang-undang yang dipakai di darat (Fang, 1978: 276). Djamaris, dkk (1981: 11) menyebut Undang-undang Laut ini sebagai Undang-undang Pelayaran.

Undang-undang ini tercatat dalam katalogus von Rockel, katalogus Juynbolln, dan Malay Manuscripts. Dalam Supplement-Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handschriften (von Rockel, 1921) naskah ini tercatat dalam judul lengkap Adat-adat Kapal.

Dalam katalogus Juynboll, undang-undang ini tercatat dengan nomor-nomor: CCXXVII (Cod. 1705 (2)), CCCXXIX (Cod. 1706 (2)), CCXXX (Cod. 1756 (1)), CCXXXI (Cod. 3199 (2)), CCCXXXII (Cod. 3292), CCCXXXII (Cod. 3293), CCCXXXXIV (Cod. 3296), CCCXXXV (Cod. 2276bz0, CCCXXXVI (Cod. 1780).

Dalam Malay Manuscripts, Undang-undang Pelayaran tercatat dalam nomor mikrofilm 397 Oph. 83 dengan judul Undang-undang Laut.

Pada umumnya, Undang-undang Laut ini terdiri dari 24 pasal yang kebanyakan isinya sama. Berikut ini adalah ringkasan isi naskah yang diterjemahkan Raffles ke dalam bahasa Inggris (Liaw Yock Fang, 1978: 276-277):

Bab 1: Tiga orang nakhoda memohon kepada Sultan Mahmud untuk menuliskan Undang-undang Laut, dan mereka diberi gelar. Dinyatakan pula tugas-tugas nakhoda, pegawai perahu, dan hukum hutang pada nakhoda yang mempunyai bagian dalam barang-barang perniagaan di perahu.

Bab 2: Dinyatakan ada bagian tertentu yang dilarang dihampiri orang, langkah-langkah untuk keselamatan, dan hukum kiwi.

Bab 3: Dinyatakan bahwa orang-orang yang kapalnya karam menjadi hamba nakhoda. Kalau mereka mempunyai barang, nakhoda boleh memintanya.

Bab 4: Orang yang berkhianat terhadap nakhoda atau memakai keris di kapal dijatuhi hukuman dibunuh. Disebutkan pula denda bagi orang yang kurang ajar kepada nakhoda dan hukum bagi yang berzina.

3. Undang-undang Minangkabau

Naskah Undang-undang Minangkabau (UUM) dan Tambo Minangkabau umumnya terdapat dalam naskah yang sama. Naskah UUM ini terdapat di Museum Pusat Jakarta, tercatat dalam katalogus von Ronkel, Sutargaa, dan Baharudin.

Dalam katalogus von Ronkel, tercatat ada 12 naskah berisi UUM di samping juga berisi Tambo Minangkabau (10 naskah di antaranya berjudul UUM dan 2 naskah lainnya berjudul Undang-undang Tanah Datar), 1 naskah berjudul Undang-undang Lohok Tiga Laras, dan 1 naskah berjudul Undang-undang Adat. Empat di antara naskah yang berjudul UUM (Bat. Gen 94, v.d.W. 54, v.d.W. 202, dan v.d.W. 203) (von Ronkel, 1909: 502-506) dan 2 naskah (Bat. Gen. 35 dan Bat. Gen. 36) yang berjudul Undang-undang Tanah Datar (Von Ronkel, 1909: 298-299) sudah hilang dan tak tercatat lagi dalam katalogus Sutaarga (1972). Dua naskah berjudul UUM, yaitu Bat. Gen. 27 (Ml. 27) dan v.d.W. 204 (Ml. 716) ternyata sudah rusak. Enam naskah lainnya yang juga tercatat dalam katalogus Sutaargaakan dibicarakan lebih lanjut di bawah ini.

Dalam kartalogus Sutaarga, tercatat 18 naskah yang ada hubungannya dengan UUM, 10 naskah berjudul UUM, 1 naskah berjudul Undang-undang Adat, 1 naskah berjudul Undang-undang Lohok Tiga Laras, 2 naskah berjudul Adat Istiadat Minangkabau, dan 1 naskah berjudul Kitab Kesimpanan Adat Minangkabau. Ada satu naskah lagi yang tercatat dalam katalogus Baharuddin, yaitu naskah Ml. 439.

Bagian pertama selalu dimulai dengan cerita penciptaan dan cerita Adam dan anak cucunya. Adam mempunyai 99 anak, 50 laki-laki dan 29 perempuan. Berlakulah perkawinan antara anak Adam tersebut sedangkan yang bungsu tidak mendapat pasangan. Anak tersebut dibawa malaikat ke langit, dan ia bernama Iskandar yang diberi gelar Zulkarnain. Dia menjadi raja dan menikah dengan seorang putrid dari surga. Dia mempunyai anak tiga yag bernama Sultan Sri Maharaja Alif, Sultan Sri Maharaja Depang, Sultan Sri Maharaja Diraja. Mereka berlayar hingga negeri Rum, Cina, dan seorang sampai ke puncak Merapi, yaitu Datuk Maharaja Diraja. Setelah itu, dia turun dan membuat dusun-dusun di bawahnya. Bertambah ramailah alam Minangkabau tersebut.

Setelah itu barulah Undang-undang Adat yang terdapat empat jenis, yaitu

a.Adat nan sebenar adat, yaitu peraturan yang biasa, misalnya menumbuk di lesung, menanak di periuk, dan tugas-tugas dalam kedudukan.

b.Adat nan ditiadatkan, yang terbagi atas empat, yaitu cupak nan dua, kata nan empat, undang-undan nan empat, dan negeri nan empat.

c.Adat nan teradat, yaitu adat yang dipakai dalam luhak atau laras

d.Adat istiadat adalah adat jahiliah yang terlarang pada Adat nan sebenar adat, seperti menyabung, berjudi, bersorak-sorai, dll.

Selain itu, ada buku-buku yang membicarakan isi pokok dalam UUM. Pertama, Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarahnya (Mahmoed, 1978). Pembicaraan adat Minangkabau dalam buku ini terdapat dalam bab III, yaitu mengenai adat nan empat, undang-undang nan empat, macam-macam kata, kewajiban kepala toko, hukum adat, dan syarat-syarat mengangkat penghulu.

Kedua, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau (Pangu1978b) mengenai penghulu, waris, dsb. Bagian yang sama dengan UUM pat buku ini yaitu pada Bab II mengenai Undang-undang 20, dan Cupak Asli.

Ketiga, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau (Pangulu, 1978b) yang membahas dasar-dasar adat dan kaidah-kaidah pokok adat Minangkabau. Persamaan dengan UUM adalah mengenai adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan teradat, adat istiadat, dan cupak.

Keempat, Tinjauan Adat Minangkabau (Hanafiah, 1970), yang dalam bab VII membicarakan adat Minangkabau.

Kelima, Tambo dan Silsilah Adat Minangkabau (Basa, 1966) yang berisikan tentang Tambo Minangkabau dan sejarah adat.

4. Undang-undang Palembang dan Adat Palembang

Naskah Undang-undang Palembang di Museum Pusat Jakarta ada dua buah, yaitu Ml. 707 dan Ml. 140, yang terdapat dalam katalogus von Ronkel, Sutargaa, dan Howard. Naskah yang sama berdasarkan Howard terdapat di Leiden University Library dalam bentuk microfilm 233 dengan nomor SH. 108. Naskah Adat Palembang terdapat di Museum Pusat Jakarta dengan nomor Ml. 265 dan Ml. 270 (Howard, 1966:65-66).

Naskah Undang-undang Palembang dan Adat Palembang ini berisi hal-hal:


  1. Peraturan pergaulan antara wanita dan pria, serta masalah perkawinan
  2. Peraturan marga, yaitu tugas dan kewajiban para warga dan penguasa
  3. Peraturan dusun dan berladang
  4. Peraturan kaum, yaitu orang yang dianggap ahli agama untuk melakukan prosesi yang berkaitan dengan agama seperti pernikahan.
  5. Peraturan pajak, yaitu kewajiban membayar pajak bumi bagi yang mampu dan tidak.
  6. Peraturan perhukuman, yaitu tentang hutang piutang, hukuman mengenai pelanggaran, dll.

5. Undang-undang Kedah

Naskah Undang-undang Negeri Kedah terdapat di Museum Pusat Jakarta dengan nomor Ml. 25 dan tercatat dalam katalogus von Ronckel, katalogus Sutaarga, dan Malay Manuscript. Ternyata naskah Undang-undang Negeri Kedah ini sama dengan Undang-undang Perbuatan Datuk Besar Dehulu (UUPDBD).

Naskah UUPDBD ini terdapat di Museum Pusat Jakarta dengan nomor Ml. 709. Naskah UUPDBD inidi Museum Pusat Jakarta tercatat dalam katalogus von Ronkel. Isi dari Undang-undang ini adalah


  1. Pasal 1-13 mengenai perdagangan, tatacara kapal yang datang ke kuala, mengenai undang-undang pelabuhan, perpajakan yang dikeluarkan oleh syahbandar, dan pasal mengenai ketentuan kapal-kapal layar.
  2. Pasal 14-29 mengenai kewajiban syahbandar dan mata-mata, kewajiban pegawai pemerintahan untuk melakukan ketentuan Allah, mengenai pasal orang berjalan malam, dan pasal mengenai orang yang lari dari laut atau negeri lain.
  3. Pasal 30-50 mengenai pekerjaan syahbandar darat dalam berdagang, tentang undang-undang bagi orang yang melanggar peruntah Allah, tentang membayar zakat, suruhan salat, mengenai kegiatan bertani, tentang pertanahan dan jalanan.
  4. Pasal 51-70 mengenai hak dan kewajiban tumenggung, kewajiban panglima kuala, ketentuan panglima jaga-jaga.
  5. 71-89 mengenai pengangkatan pekerjaan kepada seseorang, tentang penghulu masjid, mengenai perkawinan, utang piutang, dan tentang hukum yang terdiri dari tiga macam, yaitu syarak, adat, dan akal—yang terdiri dari tiga perkara, wajib, mustahil, dan jaiz.

Dari berbagai bentuk sastra melayu klasik, yang menarik adalah sastra undang-undang. Sastra undang-undang pada zaman dahulu dipakai turun temurun. Isinya beragam, mengenai adat raja-raja, peraturan di suatu negeri, adat istiadat suatu daerah, adat di kerajaan. Sastra undang-undang yang paling terkenal dan mempengaruhi undang-undang lainnya--seperti Undang-undang Perak, Undang-undang Pahang, Undang-undang Johor, dan Undang-undang 99—adalah Undang-undang Melaka, Undang-undang Laut, Undang-undang Minangkabau, Undang-undang Palembang, dan Undang-undang Kedah.

Sumber:

Djamaris, dkk. 1980. Naskah Undang-undang dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikandan Kebudayaan.

Hassan, Fuad Tjiptaningrum. 2008. Risalat Hukum Kanun Undang-undang Negeri Melayu. Depok: Yayasan Naskah Nusantara.

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesustraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun