Islam Sebagai Dasar Negara Indonesia?:
Sebuah Pemikiran Mohammad Natsir
oleh Edy Nugraha
Mohammad Natsir dilahirkan di desa bagian barat Indonesia, yaitu desa Alahan Panjang Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Ia lahir Jumat, 17 Juli 1908. Dia wafat di Jakarta 5 Februari 1993. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya bernama Mohammad Idris. Sosialisasi keagamaan Natsir banyak dilalui di kampung halamannya, yaitu dengan alim ulama di kampungnya. Dia melanjutkan sekolah di HIS Adabiyah Padang. Namun, dia tidak tamat belajar di Padang karena ayahnya memindahkannya ke HIS Solok. Di sekolah inilah Natsir belajar bahasa Arab dan Fiqih kepada tuanku Mudo Amin. Natsir menamatkan pendidikan HIS dan Madrasah Diniyah di Solok. Setelah selesai, Natsir diajak kakanya, Rubiah kembali ke Padang.
Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setamatnya dari MULOS, dia melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS) afdelling A di Bandung. Setelah lulus, Natsir tertarik dengan pergerakan Islam dan aktif dalam organisasi Jong Islamiten Bond (JIB) Padang dan Masyumi, yang membawa Natsir menduduki karir politiknya. (Yusuf, 1978: 4).
Pemikiran Agama dan Negara menurut Natsir
Agama menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara.. Agama bukan semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Islam adalah kebudayaan /peradaban yang lengkap dan sempurna. Yang dituju Islam adalah agar agama meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah, dan perundang-undangan.
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas, dan tujuan khusus. Isnstitusi adalah suatu badan, organisasi, yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan tersendiri serta diakui umum.arus mempunyai akar yang tertanam dalam masyarakat.
Berdirinya negara tersebut menurut Mohammad Natsir bukanlah sebagai tujuan utamanya, tetapi hanyalah alat yang menjamin supaya aturan-aturan yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW. dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya. Semua perintah Islam ini tidak akan berarti bila tidak disertai oleh alat, sebagaimana dinyatakan oleh Mohammad Natsir bahwa tujuan utama dari berdirinya negara adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat, baik yang berkenaan dengan kehidupan di dunia yang fana ini ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka (Natsir, 1954 : 442).
Pandangan Mohammad Natsir yang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai keruhanian, sosial dan politik Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi, serta menyesuaikannya dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat manusia tersebut didasarkan kepada keyakinannya tentang tauhid yang menurutnya mengandung dua sisi, yaitu hablumminAllah (perhubungan antara manusia dan Tuhan) dan hablumminannas (hubungan antara manusia dan manusia).
Islam menurut Mohammad Natsir tidaklah memisahkan urusan ruhaniah dengan urusan keduniaan. Segi-segi keruhaniaan itu akan menjadi landasan bagi segi-segi keduniaan. Ini bermakna bahwa etika keagamaan yang bercorak universal yang ditekankan oleh ajaran Islam mestilah menjadi dasar bagi kehidupan politik. Jadi, politik bukan sesuatu yang tampak netral. Kekotoran ataupun kesucian politik tergantung pada sejauh mana manusia yang terlibat dalam politik itu mampu menjadikan asas-asas keruhaniaan sebagai pedoman dalam berperilaku politik mereka.
Sejauh mengenai hubungan antara doktrin yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi dengan pembentukan lembaga-lembaga politik seperti negara serta badan-badan yang menjadi strukturnya, Mohammad Natsir tidaklah melihat Islam sebagai ad-din wa-daulah (agama dan negara) secara sekaligus. Mohammad Natsir memandang bahwa negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukannya lembaga keagamaan itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan negara sebagai sebuah institusi yang paling penting menurut Mohammad Natsir adalah dalam rangka penegakan syariah. Keyakinan Mohammad Natsir ini tampaknya didasarkan pada rumusan konseptual bahwa hukum atau undang-undang hanya dapat dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum yakni melalui institusi negara. Sedangkan proses bedirinya negara tersebut menurut Mohammad Natsir adalah karena adanya keinginan dari kaum muslimin untuk melaksanakan perintah Allah SWT.
Dengan berdirinya sebuah negara tersebut yang merupakan organisasi Islam dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.
Jadi, kehidupan bernegara menurut Mohammad Natsir merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat guna mewujudkan keteraturan dan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam masyarakat, karena dengan adanya negara beserta alat-alat kenegaraannya mereka dapat memaksakan sesuatu keinginan bersama demi kebaikan dan kemaslahatan bersama pula. Berangkat dari pemikiran tersebutlah bahwa Natsir menginkan Islam sebagai dasar negara Indonesia yang tercermin dalam pidatonya di depan sidang majelis Konstituante (1957-1959).
Islam sebagai Dasar Negara Indonesia
Dalam pidato Natsir yang berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara” di depan siding majelis konstituante untuk menentukan dasar negara Indonesia, Natsir mengatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan yaitu sekulerisme (la diniyah) atau paham keagamaan (diniyah). Pancasila menurut pendapatnya adalah la diniyah sebab itu Pancasila sekuler karena tidak mengakui wahyu sebagai sumber, bisa dikatakan Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.
Sesuai dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Natsir, mengajak masyarakat untuk melihat bahwa Islam sebagai agama anutan mayoritas masyarakat Indonesia. Tentu dengan posisi mayoritas anutan masyarakat menjadikan Islam memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia, sebab itu menjadikan alasan yang kuat menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Argumentasi lain mengapa partai-partai Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, menurut Natsir karena ajaran Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat juga menjamin keragaman hidup antara berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi (Thohir Luth, Op.cit., hal., 49. )
Keyakinan yang ditanamkan Natsir dalam dirinya bahwa Islam sajalah yang membuat kemajuan bangsa Indonesia menuju kehidupan sosial masyarakat yang damai, adil dan sejahtera. Perjuangan mengaplikasan Islam sebagai dasar negara tidak semudah perjuangan mosi internal, persoalan dasar negara harus Islam, Pancasila atau lainnya mengalami perdebatan panjang di konstituantae sejak November 1956 sampai dengan Juni 1959 akhir dari perdebatan ini tanggal 2 Juni 1959 tan adanya satu keputusan.
Pihak pemerintah membaca situasi ini sebagai suatu kemacetan konstitusi yang serius, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno dengan sokongan penuh pihak militer mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat. Situasi tersebut tentu menjadikan suatu guncangan tersendiri bagi umat Islam baik secara politis maupun secara psikologis.13 Dekrit yang dikeluarkan Soekarno membuat dia menggenggan pimpinan yang memilki kekuasaan secara politis, dimana kekuasaan tersebut tanpa tapal batas dan sejak itulah setiap usulan mengganti dasar negara dengan Islam selalu dilemahkan.
Soekarno menggunakan kesempatan pada posisi pemegang tampuk kekuasaan teringgi untuk meminimalisasi isu ideologi Islam. Pada tanggal 31 Desember 1959 Soekarno menetepkan kebijakan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7/ 1959 yang mengatur kehidupan dan pembubaran partai, selanjutnya dikeluarkan pula Keputusan Presiden (Kepres) No. 200/ 1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran Masyumi dan PSI yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960 Pembubaran Masyumi tidak lepas dari keterlibatan para pimpinan dan anggotanya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Kritik dan Komentar
Hubungan agama dan negara selalu menjadi wacana menarik sebagai bahan kajian, Sejak dahulu, banyak pertarungan pemikiran antara para pemikir yang mengemukakan bahwa agama harus digabungkan dalam keseluruhan aktivitas kehidupan dan pemikir-pemikir yang mengemukakan pemisahan antara agama dan kehidupan politik misalnya.
Setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan idenya dalam rangka membangun masyarakat yang dicita-citakannya. Kepedulian seorang tokoh terhadap tanah kelahirannya dapat dilihat dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya dalam mengartikulasikan ide-idenya. Ide-idenya itu dipaparkan secara komprehensif dan meyakinkan. Argumen-argumen yang dibangunnya disampaikan, mulai dari filosofis sampai praktisnya. Sehingga ide-idenya tidak saja memperkaya wacana, namun dapat dijabarkan secara operasional. Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai intelektual dan negarawan.
Alangkah repotnya memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia tanpa mengenal Natsir. Dan adalah perbuatan yang sia-sia mengabaikan peran Natsir apalagi menutupi dengan sengaja maupun tersembunyi. Karena seperti kata orang bijak, kalau ingin mengenal sejarah, maka kenalilah ide dan gagasan pelakunya.
Jika ditinjau dari sudut pandang filsafat, sebenarnya Natsir berpikiran sama—atau mungkin berpengaruh—seperti Machiavelli yang menganggap agama memiliki nilai politis yang dapat digunakan dalam kehidupan bernegara. Numa Pompilius seorang pemimpin Romawi berhasil mengkontruksikan agama menjadi sebuah parameter baik dan buruknya seorang manusia, sehingga agama menurut Machiavelli berguna membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat, setia, patuh, dan bersatu (Rapar, 2001: 467-470).
Namun, pemikiran Natsir untuk menjadikan Islam sebagai Dasar Negara amat mengabaikan sisi keberagaman dan multikulturalisme Indonesia yang telah dibangun dalam Sumpah Pemuda. Pasalnya, dalam sumpah pemuda, yang berisikan tentang:
“Kami putra putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia
Kami putra putri Indonesia, menjunjung bagasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Jelaslah bahwa, sumpah pemuda mengisyaratkan bahwa kita hanya berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung bahasa satu, yaitu Indonesia. Kita tidak beragama satu.
Yang menjadi permasalahan mendasar pemikiran Natsir adalah melabel nama Islam sebagai dasar negara. Dilihat dari sudut pandang sosiologis, negara ini tidak tepat mengusung dasar negara Islam, karena sesuai dengan semboyan bangsa kita, “bhinneka tunggal ika”, biarpun berbeda-beda namun tetap satu jua. Sebenarnya, tujuan Natsir baik, tapi alangkah baiknya jika lebih kepada penanaman nilai agama—termasuk salah satunya Islam—yang dijadikan dasar negara, bukan membawa agama Islamnya.
Mengenai anggapan Natsir mengenai Pancasila sebagai ideologi sekuler, pemikiran Natsir mengenai pancasila sungguh berubah-ubah. Awalnya Natsir menyetujui, kemudian menolak. Dia lupa bahwa sila pertama “ketuhanan yang maha esa” terdapat nilai agama yang terkandung di dalamnya. Terlebih, sila ini merupakan sila pertama dari pancasila. Sila kedua, yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”, jelas terdapat nilai-nilai humanisme dalam sila ini. Agama manapun mengajarkan untuk menghormati dan berlaku baik terhadap sesama manusia, maupun makhluk hidup lainnya.
Korelasi dan relevansi pada masa sekarang adalah munculnya kembali paham-paham menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Namun, yang membedakannya adalah caranya. Natsir menggunakan cara yang diplomatis dan cara seorang negarawan dalam menyampaikan pendapatnya mengenai Islam sebagai dasar negara. Pada masa-masa sekarang, cenderung sekelompok orang-orang yang menginginkan Islam sebagai dasar negara menggunakan cara-cara radikal. Jelas perbedaan bahwa sebenarnya Natsir—seorang yang sangat mengerti agama—tidak memaksakan kehendak untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Karena, pancasila juga terdapat beberapa nilai-nilai Islam walaupun tidak secara penuh.
Jadi, walaupun tujuan Natsir baik untuk membawa nilai agama Islam sebagai dasar negara, sebenarnya dasar negara Islam tidak cocok untuk Indonesia ditinjau dari sudut pendang keberagaman masyarakat Indonesia.
Sumber:
Mohammad, Natsir. 1954. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang.
J.H. Rapar, Filsafat Politik,,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,. hal., 467-470.
Santosa, Kholid O. (ed.). 2004. Islam sebagai dasar Negara. Bandung : Sega Arsy.
Supardi. 2006. Konsep Negara menurut Mohammad Natsir dan Upaya Mewujudkannya di Indonesia (1928-1959). Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
Thohir Luth, M. 1999. M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insan Press.
Yusuf, A. Puar, M. 1978. Natsir 70 Tahun Kenang – Kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Jakarta: Antara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H