Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seri Reshuffle Kabinet-6: Ayo Pak Presiden, Tunggu Apa Lagi…?

27 Juli 2015   13:58 Diperbarui: 2 Agustus 2015   20:40 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

oleh: Edy Mulyadi*

 

"The ups and downs of the rupiah are normal. It will not have a big impact," chief economics minister Sofyan Djalil told reporters.

Begitu ucapan Menko Perekonomian Sofyan Djalil sebagaimana dikutip wartawan media Singapura, The Star On line (TSOL), pekan silam (23/7). Pernyataan itu disampaikannya saat diminta komentarnya atas tren nilai tukar rupiah yang terus terjun. Saat berita diturunkan, rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia, jatuh 0,2% di titik Rp13.395.

Kalau perkara rupiah naik-turun atas mata uang lainnya, itu memang lumrah. Mereka yang ‘makan sekolahan’ juga tahu. Yang saya tidak paham, bagaimana mungkin seorang Menteri Koordinator Perekonomian bisa membuat pernayataan terjunnya rupiah ke titik terendah sepanjang 17 tahun, tidak membawa dampak besar bagi perekonomian nasional.

Pernyataan pejabat tinggi seperti ini sekali lagi membuktikan, bahwa para pembantu Presiden tidak memahami bidang tugasnya. Mereka cenderung asbun, alias asal bunyi. Anak kuliah ekonomi semester awal pun pasti paham, bahwa rontoknya rupiah, apalagi sampai tingkat ekstrim seperti itu, pasti berdampak besar bagi perekonomian.

Mungkin pak menteri akan berkata, dolar naik kan justru menguntungkan eksportir kita. Betul itu. Tapi apakah pak menteri tahu, bahwa sebagian besar industri kita masih mengandalkan bahan baku impor. Itu artinya mereka harus membayar lebih mahal karena rupiah nyang lunglai. Lebih celaka lagi, konusmen produk mereka justru mengandalkan pasar lokal. Itu sama saja dengan sudah jatuh tertimpa tangga.

Tentu, ada saja pihak-pihak yang diuntungkan dengan melemahnya rupiah. Mereka ini antara lain para eksportir komoditas primer, baik hasil perkebunan maupun pertambangan. Tapi, khusus pertambangan, kita juga tahu sektor ini menggunakan peralatan, dan sebagian di antaranya, berteknologi tinggi. Sudah pasti peralatan dan teknologi tinggi itu rakus dengan dolar. Artnya, mereka harus rela membagi kenikmatan tingginya dolar dengan berbagai  biaya berunsur dolar yang juga mahal. Lagi pula, harga komoditas primer di pasar internasional sejak beberapa tahun silam sudah terjungkal sekitar 30-40%.

Itu dari sisi mikro. Bagaimana dengan makronya? Jangan lupa, Indonesia punya utang luar negeri superbengkak. Data Bank Indonesia menyebutkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai Mei 2015 tercatat US$302,3 miliar. Jumlah itu terdiri atas utang luar negeri sektor publik US$133,5 miliar (44,2%) dan sektor swasta US$168,7 miliar (55,8%). 

Jumlah ULN ini bukan main-main. Berdasarkan kurs tengah BI hari ini (27/7) yang Rp13.453, maka utang itu setara dengan Rp4.066 triliun lebih. Jelas ini utang dalam jumlah superjumbo. Dan, saya kira, sebagai Menko Perekonomian, Sofyan Djalil tahu persis apa dampaknya angka-angka itu terhadap APBN kita. Anggaran tidak mampu jadi stimulus karena habis tersedot untuk membayar utang dan berbaga biaya rutin lainnya.  Mengerikan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun