Oleh Edy Mulyadi*
Berapa harga pokok produksi (HPP) bahan bakar minyak (BBM) kita? Inilah pertanyaan keramat yang supersulit jawabannya. Jangankan mang Diman tukang bakso yang biasa keliling di komplek perumahan saya tinggal, kalau pertanyaan ini diajukan ke pemerintah pun, pasti tidak akan keluar angkanya. Tidak percaya? Silakan bertanya kepada Presiden Joko Widodo atau Menteri ESDM Sudirman Said. Saya akan jamin, jawaban mereka akan mbulet, muter-muter yang ujungnya ga jelas juga.
Bahkan jika pertanyaan ini pun Anda ajukan ke Pertamina yang tiap hari memproduksi minyak itu, tetap saja tidak akan keluar angkanya. Tidak percaya? Coba simak ucapan salah satu petinggi Pertamina ini;
“Pertamina tentu punya hitung-hitungan sendiri. Tapi itu tentu untuk lingkungan internal kami, untuk melakukan efisiensi di kami. Berapa produk kami itu kami punya,” ujar Vice President Corporate Commnunication Pertamina Ali Mundakir kepada wartawan, di kantor Pertamina.
Yang pasti, Ali menghitung dengan harga minyak dunia US$80/barel, maka harga keekonomian premium yang dijual di Indonesia seharusnya Rp8.600/liter (lihat CNN Indonesia, 17/11). Artinya, dengan dinaikkannya harga premium menjadi Rp 8.500 itu sudah mendekati harga keekonomian. Dengan kata lain, bisa disebut Pemerintah sudah hampir menghapus subsidi BBM.
Dengan fakta seperti ini, jadi sangat mengherankan tiba-tiba saja Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro menyatakan kenaikan harga BBM sebesar Rp2.000/liter untuk premiun dan solar merupakan angka yang terbilang kecil. Sebab, dengan harga menjadi Rp8.500/liter, pemerintah masih menanggung subsidi sebesar Rp1.500/liter.
Saya mau tanya, pak Menteri, berapa sebenarnya HPP BBM kita? Lalu, komponen apa saja yang harus ditambahkan ke HPP tadi agar mencapai harga keekonomian? Berapa besaran masing-masing komponen tambahan itu? Bagaimana caranya menghitung angka-angka itu? Lalu, kenapa kami, rakyat Indonesia, harus membayar Rp8.500/liter? Itu pun masih anda tambahi embel-embel pemerintah masih menyubsidi Rp1.500.
Kedegilan pemerintah dan Pertamina untuk menutup rapat-rapat akses informasi HPP yang sebenarnya dari BBM kita, sungguh-sungguh menyebalkan. Akibatnya, banyak orang dan pihak sibuk menghitung-hitung sendiri angkanya. Setelah ditambah komponen ini-itu, maka lahirlah harga keekenomian versi masing-masing.
Mantan Menko Perekonomian era Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie, misalnya. Dia punya hitung-hitungan yang menarik. Jika harga minyak mentah US$70/barrel (159 liter), maka harga per liternya adalah US$0,44. Dengan kurs Rp12.000/US$, maka harga per liter jadi Rp5.280. Ditambah biaya biaya Pengilangan dan Transportasi yang US$10/barrel, maka harganya menjadi Rp 5.280+Rp755 = Rp6.035/liter.
Jadi, kalo pemerintah menjual premium seharga Rp8.500/liter, itu sudah untung Rp2.465/liter. Jelas ini bukan jumlah yang kecil. Bayangkan, dengan kuota BBM yang 48 juta kilo liter untuk tahun 2015, maka pemerintah mengantongi keuntungan dari penjualan BBM jenis premium saja sebesar Rp118,23 triliun.
Buat info saja, minyak pada perdagangan Jumat (5/12) di New York Mercantile Exchange (NYMEX), berakhir pada level US$65,63/. Ini adalah angka terendah dalam lima tahun terakhir.
Padahal, kalkulasi Kwik itu berdasarkan harga US$70/barel. Kalau angkanya turun lagi menjadi US$66/barel saja, maka keuntungan yang dikantongi pemerintah menjadi lebih besar lagi. Iya, kan?