Oleh Haposan Napitupulu* & Edy Mulyadi**
Saat ini Indonesia masih mengimpor sebagian besar produk petrokimia antara lain dari Jepang, Taiwan, Korea, dan Malaysia. Nilai impornya juga terus meningkat. Tidak kurang Rp200 triliun/tahun devisa kita terkuras untuk aneka produk petrokimia ini.Ironisnya, beberapa negara produsen dan eksportir produk petrokimia tersebut adalah importir gas bumi dari Indonesia.
Siapa yang diuntungkan dari fakta ini? Pertama, pasti para negara/eksportir produk petrokimia itu sendiri. Kedua, para eksportir gas alam Indonesia ke negara-negara produsen petrokimia, termasuk dan terutama ke Jepang. Mereka yang disebut terakhir ini sangat berkepentingan agar Indonesia tetap hanya (ulangi: hanya) mengekspor gas alam dan terus mengimpor produk petrokimia.
Nah, sampai di sini menjadi clear, kenapa Inpex Corporation selaku operator Blok Masela, begitu gigih menghendaki agar pemanfaatan gas produk lapangan abadi blok Masela dikembangkan dengan offshore, alias kilang apung. Dengan skenario ini, gas bumi itu hanya disedot, kemudian langsung diekspor. Inpex juga seperti tidak peduli, bahwa Presiden Jokowi sudah bertitah agar Blok Masela dikembangkan dengan skenario kilang darat (onshore).
Keputusan Presiden ini mengakhiri kesalahan para pendahulunya. Pasalnya, selama ini pemanfaatan SDA hanya dijadikan sumber penerimaan devisa. Pada pengembangan gas bumi, misalnya,hanya fokus untuk proyek liquid natural gas (LNG) agar ekspor maksimal dan menghasilkan revenue dengan cepat dan return yang tinggi bagi kontraktor. Perubahan paradigma inilah yang mati-matian coba dicegah oleh Inpex dan konco-konconya.
Untuk itu berbagai upaya mereka tempuh. Yang teranyar, lewat juru bicaranya Usman Slamet, Inpex menyatakan karakteristik gas di Lapangan Abadi, Blok Masela, berbeda dengan gas di wilayah lain. Jenis gasnya adalah lean atau gas bumi yang didominasi oleh kandungan methana atau C1, bukan wet atau jenis gas basah. Artinya, produk gas Masela tidak bisa untuk petrokimia.
“Jika gas tersebut untuk industri petrokimia malah akan menurunkan pendapatan dibandingkan dijual dalam bentuk gas alam cair (LNG). Alasannya, harga LNG lebih mahal dibandingkan produk industri petrokimia seperti methanol.Rantai gas yang ada di Blok Masela hanya Metana (C1), Ethana (C2), Propana ( C3). Bahkan, C1 hanya di atas 85 persen. Dengan karakteristik tersebut, gas Masela hanya bisa dibikin urea dan amoniak. Tidak bisa parafin dan olefin.Mau dipaksa juga tidak bisa. Dia (Rizal Ramli) jual mimpi banget,” papar Usman saat berbincang dengan beberapa wartawan di Jakarta, Rabu (13/7).
Dalam beberapa hal Usman benar. Lapangan Abadi Blok Masela memang menghasilkan gas bumi yang didominasi kandungan C1 atau gas methana lebih dari 85%. Gas jenis ini disebut juga LEAN GAS.Masela juga menghasilkanKondensat sebanyak 24 ribu bbl/hari.
Tapi yang Usman mungkin tidak tahu,kandungan gas methana atau C1 yang disebut juga CH4, justru merupakan bahan baku utama petrokimia yang dapat diolah menjadi Syn gas CO2/H2. Jika diproses lebih lanjut akan dihasilkan aneka produk petrokimia, seperti ammonia, perekat, pelarut, methanol/spiritus, formaldehyde, acetic acid, DME (Dimethyl Etherl), hydrazine, acrylonitrile/fiber, ammonium nitrate (peledak/pupuk), dan produk farmasi.Sedangkan produksi kondensat dapat diolah menjadiOlefin (ethilene, propilene, dan lainnya) dan Aromatik (benzena, toluene, xilene). Semua produk turunan tersebut harganya lebih mahal dibandingan harga gas bumi.
Saya tidak tahu apa latar belakang pendidikan dan pengalaman Usman. Kalau latar belakangnya bukan “orang Migas”, wajar saja dia tidak tahu. Tapi, itu artinya dia sudah bicara di luar otoritasnya. Agak menyedihkan bila Inpex memakai orang yang buta Migas menjadi juru bicara.
Sebaliknya, kalau dia “orang Migas” bagaimana mungkin dia tidak tahu soal ini? Atau, bisa jadi, dia sengaja menyembunyikan kebenaran ini agar bisa menggiring opini publik sesuai kepentingan perusahaannya?