Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Bagaimana Seharusnya OJK Beperan?

7 Juni 2017   14:40 Diperbarui: 7 Juni 2017   14:48 3948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

oleh Edy Mulyadi*

Kemarin (Selasa, 6/6) Komisi XI DPR mulai melakukan uji kepatutan dan kelayakan alias fit and proper test terhadap empat calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut rencana, tes bakal berlangsung sampai 9 Juni untuk 10 calon lainnya. Artikel ini tak hendak bicara soal para kandidat. Rasanya, soal seperti apakah OJK yang ideal, menjadi lebih menarik dan lebih penting ketimbang menguliti para calon tadi. Pertanyaan besarnya memang, bagaimana seharusnya OJK berperan?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita tengok kembali, makhluk apakah gerangan OJK. Lembaga superbody ini dibentuk sebagai solusi atas buruknya kredibilitas Bank Indonesia (BI) saat krisis moneter menerjang Indonesia pada 1997/1998 silam. Saat itu BI gagal dalam melakukan pengawasan perbankan. BI juga dinilai tidak mampu menjaga stabilitas nilai tukar yang membuat rupiah terjerembab dari Rp2.200/US$ menjadi tembus Rp15.000an.

Sejatinya OJK hadir untuk melaksanakan amanat pasal 34 ayat (1) UU nomor 6/2009 tentang BI. Pasal itu berbunyi; "Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang".Sedangkan fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Untuk itu, OJK bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB).

Lahirnya OJK membuat peran dan fungsi BI menjadi sangat terbatas. Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, BI selanjutnya hanya punya satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah ini bermakna stabil nilai mata uang terhadap barang dan jasa, dan stabil terhadap mata uang negara lain.

Dengan tugas tunggal tersebut, konsekwensinya BI tidak lagi bisa secara maksimal mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Tentu saja ini berbeda dengan tugas dan fungsi bank sentral di negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, selain menjaga stabilitas nilai tukar, The Fed ikut terlibat dalam pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Bahkan pada saat krismon melabrak Negeri Paman Sam, The Fed bisa meluncurkan kebijakan Quantitative Easing (QE) untuk menstimulus.Sebaliknya, saat ekonomi mulai kembali normal, The Fed menggulirkan taperingoff untuk menghentikan stimulus.

Bagaimana dengan Indonesia? Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli berharap OJK bisa mengisi terbatasnya fungsi BI. Ini berarti OJK seharusnya tidak semata-mata sibuk mengawasi dan mengatur bank, pasar modal, dan IKNB. OJK juga harus mampu mentransformasi perbankan nasional, pasar modal, dan INBK untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

"Dari sisi perbankan, misalnya, OJK harus mampu mengubah komposisi kredit yang selama ini hanya dinikmati pengusaha besar. Bukan rahasia lagi jika sekitar 80% dari total kredit perbankan dikucurkan bagi usaha besar. Sisanya yang 20% baru dibagikan kepada pengusaha kecil dan menengah. Padahal fakta membuktikan, justru usaha kecil dan menengah yang berkontribusi besar bagi perekonomian negara," ujar pria yang biasa disapa RR ini.

Lelaki yang juga pernah menjadi Menteri Keuangan ini memang benar. Dari sekitar Rp 4.414 triliun pada April 2017, sebanyak 81,6 % dialokasikan untuk usaha skala besar. Sisanya yang 18,4% baru dikucurkan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Komposisi njomplang inilah yang sudah lama digugat para pelaku usaha, khususnya ya dari UMKM itu. Namun bak anjing menggongong, kafilah berlalu. Pengusaha kecil dan menengah boleh protes, gelontoran kredit tetap saja mengalir ke pundi-pundi para raksasa. Begitulah.

Menurut Rizal Ramli, sangat elok bila OJK dapat 'memaksa' bank mengubah komposisi kreditnya, misalnya, menjadi 50:20:30. Maksudnya, 50% untuk pengusaha besar, 20% bagi pengusaha menengah, dan 30% dialokasikan untuk UMKM. Tentu saja, semua itu tidak bisa dilakukan dalam tempo singkat. Tapi mustinya, para bos baru OJK punya strategi dan program dalam jangka tertentu, tiga tahun misalnya, cita-cita tadi bisa dicapai.

Ekonomi gelas anggur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun