Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Ahok dan Polah Transaksional Parpol

17 September 2016   04:13 Diperbarui: 17 September 2016   04:34 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Rasanya semua orang sepakat, kalau dikatakan Cagub Petahana DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahja Purnama adalah tokoh kuat. Sebagai Gubernur, dia punya kekuasaan yang besar. Dengan kekuasaan yang besar itu, lelaki yang telengas kepada rakyat kecil dan mesra kepada pengusaha besar tersebut, bisa mengerahkan Satpol PP untuk menggusur paksa permukiman rakyat kecil di ratusan titik. Dengan kekuasaan yang besar itu pula dia bisa memerintahkan Polisi, bahkan TNI, untuk terlibat dalam penggusuran yang beringas dan brutal. Padahal, melibatkan TNI dalam penggusuran jelas melanggar UU TNI dan Kepolisian. Khusus Polisi, hanya baru boleh terlibat, jika sudah ada keputusan tetap dari pengadilan.

Sebagai Gubernur, dia juga punya APBD DKI yang jumlahnya lebih daripada Rp70 tiliun. Bayangkan, apa yang bisa dia lakukan dengan uang berjumlah superjumbo itu. Dana tadi bisa bertambah lagi menjadi nyaris tak terbatas, hasil ‘sumbangan’ para taipan pemilik perusahaan properti alias pengembang yang lapar lahan.

Dan, the last but not least, Ahok juga didukung penuh Presiden Jokowi. Sedikitnya ada dua indikator utama pria yang hobi memaki-maki itu di-back up habis-habisan oleh sang Presiden. Pertama, tidak kunjung tersentuhnya Ahok dalam berbagai kasus hukum yang menyeret dan menyebut namanya. Padahal, indikasi dan bukti keterlibatannya dalam kasus-kasus korupsi itu sangat terang-benderang.

KPK dan niat jahat

Contoh dagelan yang paling tidak lucu ada pada kasus pembelian RS Sumber Waras. Padahal BPK sebagai auditor resmi pemerintah yang dilindungi konstitusi menyebut ada kerugian negara Rp191 miliar.

Yang bikin norak dan perut mual, KPK mengabaikan fakta itu dan malah berpendapat harus ada niat jahat yang ditemukan pada Pelaku terlebih dulu, baru sebuah kasus bisa dianggap memiliki unsur korupsi.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Selanjutnya, Pasal 3 menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Berdasarkan pasal ini, esensi perbuatan korupsi adalah telah ditemukannya adanya kerugian negara yang diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang dari seorang penyelenggara negara, dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri, orang lain atau korporasi. Jadi, sejak kapan KPK menjadi pemburu niat jahat. Halooo….???

Yang lebih membuat naik darah, dirancang langkah kompromi supaya menyelamatkan muka masing-masing pihak. Tidak ditemukan niat jahat, tapi Pemprov DKI berkewajiban menutup kerugian negara yang Rp191 miliar. Wuedan tenaaaannn

Serunya lagi, Kartini Muljadi selaku pihak penjual RS Sumber Waras, mengaku hanya menerima Rp355 miliar. Padahal, Pemprof DKI telah menggelontorkan dana hingga Rp755 miliar. Pertanyaannya, kemana lagi yang Rp400 miliar sisanya? Siapa yang menerima? Sayangnya, tidak sebiji pun lembaga negara yang memerintahkan dan atau melakukan audit investigasi aliran dana itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun