Proyek infrastruktur di Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak memiliki kesiapan. Bukan itu saja, proyek  yang jadi kebanggaan Presiden Joko Widodo itu juga tidak terencana secara matang.
Jangan buru-buru bilang hoax, ya. Pasalnya, pendapat ini bukan datang dari Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan atau para pendukungnya. Maklum, di mata rezim yang tengah berkuasa kini, fakta dan data pun jika dianggap merugikan penguasa, dengan sigap diberi stempel hoax.
Asal tahu saja, kritik yang lumayan pedas tentang infrastruktur tadi datang dari Bank Dunia, pekan silam. Jadi, sekali lagi, bukan hoax. Ini resmi, karena catatan kritis itu dimuat dalam Dalam laporan bertajuk Infrastructure Sector Assessment Program yang dirilis pada Juni 2018.
Masih dari laporan tersebut, Bank Dunia menjelaskan proyek infrastruktur Indonesia tidak diprioritaskan berdasarkan kriteria atau seleksi yang jelas. Reputasi proyek di Indonesia berkualitas rendah dan tidak direncanakan dengan baik. Â
Anak-anak milenial meringkas paragraf ke-4 artikel ini dengan satu kata, asal-asalan. Berbekal kajian Bank Dunia tersebut, mau tidak mau kita memang kudu sependapat dengan anak-anak tadi. Bahwa proyek kebanggaan Jokowi yang maju lagi sebagai Capres 2019-2024 memang asal-asalan.
Sebetulnya, tanpa adanya laporan Bank Dunia itu pun, rakyat sudah lama punya pendapat senada. Sebagai konsumen (khususnya pengguna jalan), yang pertama rakyat rasakan adalah tarif tolnya mahal sekali. Kesan mahal kian nyata saat dibandingkan dengan tol yang dibangun era Presiden-presiden sebelumnya. Di kalangan supir truk, bahkan sempat tenar istilah "Tol Jokowi" untuk merepresentasikan kelewat mahalnya tarif jalan-jalan tol yang dia bangun.
Selain itu, di kalangan rakyat diam-diam bersemayam kekhawatiran sekaligus ketakutan. Pasalnya, rakyat tau persis, pembangunan infrastruktur yang jor-joran itu dibiayai dari utang. Inilah yang menjelaskan mengapa utang yang dibuat rezim Jokowi bertambah Rp1.600 triliun hanya dalam tempo kurang dari empat tahun.
Puluhan ribu bangkrut
Kendati syahwat menjaring utang sudah gila-gilaan, toh tetap saja Pemerintah babak-belur dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur yang superambisius. Itulah sebabnya, Pemerintah menugaskan BUMN untuk mengambil alih beban tersebut. Karenanya boleh dikatakan pengerjaannya full diserahkan kepada BUMN-BUMN. Akibatnya, puluhan ribu pengusaha konstruksi nasional terkapar. Mereka gulung tikar karena tidak kecipratan pekerjaan.
Kalau pun anak-anak bangsa ini mendapat remah-remah proyek sebagai subkontraktor, tidak berarti senyum mereka bisa terkembang lebar. Pasalnya, term pembayaran dari perusahaan pelat merah selaku main contractor sering telat, hingga berbulan-bulan. Kalau sudah begini, tentu sangat menganggu cash flow perusahaan. Ujung-ujungnya sama juga, bangkrut!
Kisah pilu kontraktor nasional ini sama sekali lagi-lagi bukan hoax. Adalah Wakil Ketua Umum III Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) Bambang Rahmadi yang membocorkan kepiluan tersebut. Menurut dia, di era Jokowi, jumlah anggota Gapensi terjun beas. Jika sebelumnya berkisar 80.000 ribu, kini susut hanya tinggal sekitar 35.000.