Padahal, ada nisbah lain yang lebih masuk akal guna mengerem nafsu berutang yang tak terkendali. Ekonom Bank Dunia dan IMF sepakat menggunakan debt to service ratio (DSR) sebagai patokan mereka dalam menangani pengelolaan beban utang di negara-negara berkembang.
DSR mencerminkan kemampuan suatu negara untuk menyelesaikan kewajibannya dalam membayar utang luar negeri. Rasio ini membandingkan beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dengan jumlah penerimaan ekspor. Kian besarnya DSR menunjukkan utang tidak dikelola secara hati-hati. Serunya lagi, Sri justru bolak-balik mengklaim utang dikelola secara prudent.
Para ekonom Bank Dunia dan IMF membuat tiga kategori batasan rasio utang dan DSR. Pertama, batas atas beban utang untuk DSR sebesar 25% untuk negara dengan kebijakan yang kuat. Kedua, DSR 20% untuk negara dengan kebijakan menengah. Ketiga, DSR 15% untuk negara dengan kebijakan lemah.
Pembayaran bunga dan cicilan pokok utang pada APBN kita cenderung naik dari tahun ke tahun. Ditambah adanya risiko eksternal berupa kebijakan moneter negara-negara maju plus pengelolaan ULN Indonesia yang belum optimal, diperkirakan bakal bisa mendongkrak angka DSR jadi 35%-38%. Tentu saja, angka ini telah melampaui batas maksimal DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25%. Artinya, utang sudah lampu merah.
Bila indikator DSR belum masuk dalam perundangan Indonesia, seharusnya sudah mulai dipertimbangkan untuk dimasukkan. Agak mengherankan, bagaimana mungkin Sri yang pernah menjadi petinggi di IMF dan Bank Dunia terus saja mengabaikan perkara DSR ini. Sampeyan bisa jelaskan, Sri?
Tapi dasar Sri pejuang neolib yang gigih, dia malah sudah ancang-ancang bakal membuat utang lagi untuk tahun ini. Rencananya, Sri bakal menerbitkan Surat Berharga Negara ( SBN) sebesar Rp826 triliun untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN 2019. Ini namanya gali lubang tutup empang. Ampun, deh!
'Loan to owned'
Dalam perkara utang, Rizal Ramli berpendapat pinjam-meminjam dalam bisnis hal biasa sekali. Untuk berkembang memang perlu mengoptimalkan leverage. Tapi, lanjut pria yang akrab disapa RR ini, jika negara meminjam dari lembaga multilateral (IMF dan Bank Dunia) dengan banyak syarat tentu harus diwaspadai. Pasalnya, pengalaman menunjukkan berbagai persyaratan tadi ternyata  sarat jebakan-jebakan neoliberalisme. Bahkan belakangan ada juga pinjaman antarnegara yang dirancang sebagai "loan-to-owned." Caranya, di-markup agar macet sehingga dalam jangka panjang bisa dimiliki/dikuasai.
Yang paling bagus, saran Menkeu era Gus Dur ini, tentu meningkatkan pembiayaan dalam negeri, termasuk dengan menaikkan tax ratio. Itulah yang dilakukan Jepang dan China. Kebangkitan ekonomi keduanya dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan domestik.
"Maka, mulailah dengan melahirkan kebijakan-kebijakan terobosan. Kebijakan kreatif, out the box, cepat, dan tepat. Selanjutnya, finance will follow," tukas RR.
Apa boleh buat, rekam jejak tim ekonomi Jokowi memang telah gagal. Indikatornya, tax ratio mandeg di 10,5%. Memang, penerimaan APBN seolah-olah tercapai. Tapi itu terjadi karena asumsi yang dibuat sengaja rendah, seperti harga minyak mentah dan lainnya.