Pembangunan infrastruktur tanpa utang juga bisa dilakukan dengan sekuritisasi proyek infrastruktur yang sudah jadi. Caranya, Pemerintah menjaminkan potensi pendapatan proyek di masa depan untuk memperoleh  pendanaan. Sekuritisasi sangat berbeda dengan penjualan aset BUMN kepada swasta. Sayangnya, justru pola terakhirlah yang kini banyak dilakukan Pemerintah Jokowi. Itulah sebabnya kita ketahui Pemerintah amat bernafsu menjual jalan tol, pelabuhan, dan bandara.
Intinya, diperlukan kemampuan para petinggi negeri untuk mengambil langkah terobosan alias out of the box. Pemerintah juga dituntut inovatif dan kreatif. Bukan seperti para menteri ekonomi sekarang yang bisanya hanya menambah utang dan menjual aset negara. Bagi para penganut paham neolib ini, membayar utang adalah prioritas utama. Mereka merasa puas bahkan bangga kalau Indonesia dianggap sebagai good boy karena kepatuhannya dalam membayar utang tepat pada waktunya.
Pengurangan pajak
Sebelumnya, Sandiaga menyatakan banyak cara yang bisa dilakukan dalam membangun infrastruktur tanpa harus berutang. Antara lain, mendorong kerjasama dengan pihak swasta hingga meningkatkan pendapatan dari sisi penerimaan pajak. Peningkatan pendapatan perpajakan dilakukan melalui perbaikan tax ratio. Caranya, bukan dengan menaikkan tarif pajak, tapi justru menurunkan tarif pajak. Langkah inilah yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2001 silam.
Waktu itu tarif pajak penghasilan di Rusia 80%. Putin menurunkan menjadi 13% dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran rakyat dalam membayar pajak. Dampaknya, pendapatan pajak penghasilan pribadi meningkat dari US$6,2 miliar pada 2000 menjadi hampir US$12 miliar pada 2002.
Bukan itu saja, tingkat kemiskinan di Rusia juga tercatat terus turun. World Bank mencatat, rasio tingkat kemiskinan dari batas garis kemiskinan Rusia di 2000 sekitar 29% dari total penduduk turun jadi 24,6%. Angka itu terus terjun hingga pada 2012 berada di level 10,7%.
Tentang pengurangan pajak saat ekonomi melemah juga sudah lama disuarakan Rizal Ramli. Pemerintah, menurut dia, harus mengurangi pajak dan menggelontorkan anggaran untuk memompa perekonomian di dalam negeri. Langkah inilah yang dilakukan Amerika saat negeri itu diterjang krisis. Sayangnya, Pemerintah kita justru melakukan pengetatan anggaran (austerity policy) untuk menangani masalah ekonomi yang lunglai. Akibatnya, justru kontra produktif. Tapi, begitulah bila perkara ekonomi diserahkan kepada para hamba dan pejuang neolib!
Dengan kebijakan yang creditors first dan generik seperti saat ini, tidak heran bila tax ratio pada September 2018, tanpa memasukkan penerimaan SDA, rasio pajak hanya di kisaran 9,3%. Padahal, sampai periode yang sama tahun sebelumnya angkanya mencapai 9,9%.  Harusnya, kalau mau membangun tanpa utang dan ekonomi tumbuh di atas 6,5%, rasio pajak ada di angka 16%.
Dengan fakta seperti ini dan bombardir defisit di banyak area (neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, keseimbangan primer, dan defisit APBN) kok bisa-bisanya Sri mengklaim telah mengelola APBN dengan prudent? Piye to, mbok? [*]
Jakarta, 11 Desember 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)