Sejatinya, semua huru-hara ini bersumber dari telah matinya empati para elit terhadap rakyat sebagai pemilik sah Indonesia. Mereka terlampau sibuk menghitung apa saja yang bisa diperoleh dari perhelatan demokrasi yang sudah berubah jadi ajang kriminal lima tahunan. Kalau saja mereka punya sedikit empati dan nurani yang belum mati, maka laku tak layak itu bisa (agak) ditepis.
Untuk dua soal pertama (keadilan hukum dan Islamophobia) bisa diselesaikan dengan sejumput kemauan atawa political will yang kuat. Siapa pun penguasanya, cuma diperlukan komitmen untuk menegakkan hukum  secara adil.
Siapa pun Presiden/Wapresnya, hanya dibutuhkan kemauan kuat untuk mengakrabi Islam dan ummatnya. Perlakukan keduanya secara proporsional dengan bersumber dari hati yang bersih dan melayani. Singkirkan jauh-jauh mindset dan sikap Islamofobia yang selama ini mengelilingi Istana.
Ya, dua persoalan tadi bisa diselesaikan dengan kemauan. Kemauan yang kuat dari Presiden dan Wapresnya. Kalau menyebut nama, dengan mengabaikan petahana, Capres Prabowo dan siapa pun Cawapresnya bisa menuntaskannya dengan hanya mengantongi komitmen yang kuat. Sesederhana itu. Jika Prabowo menggandeng Habib Salim Segaf atau ustadz Abdul Shomad yang direkomendasikan Ijtima' Ulama tentu lebih ciamik.
Tapi tidak dengan problem ketiga. Persoalan ekonomi tidak bisa diselesaikan melulu bermodal kemauan belaka. Ia membutuhkan pemahaman atas masalah dan kemampuan mengeksekusi solusi. Tidak bisa dipasang sembarang orang untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang ketiga.
Bahkan, tidak setiap ekonom dapat menuntaskannya. Apalagi kalau yang bersangkutan tampak seolah-olah besar dan mumpuni hanya karena polesan media.
Para ekonom selebriti yang berada di lingkaran inti kekuasaan sekarang tidak lebih dari representasi dari majikan asing dan aseng. Dengan pakem neolibnya yang membabi-buta, mereka bekerja ekstra keras untuk menyenangkan majikannya. Perkara karena penghambaan buta mereka rakyat jadi tergencet beratnya beban hidup, itu sama sekali tidak masuk dalam kamus para komparador itu.
Rekam jejak
Persoalan ekonomi hanya  bisa dituntaskan oleh orang yang punya keberpihakan dan kemampuan di bidang ekonomi. Setelah puluhan tahun kendali ekonomi berada di tangan para pengekor neolib, sudah saatnya semua dikembalikan ke konstitusi. Caranya mudah. Tengok saja, bagaimana para pendiri bangsa menulis pasal-pasal ekonomi di konstitusi. Sepanjang belum dihapus, jadikan pasal 33 UUD 1945 sebagai pedoman dan dasar pijakan tiap kebijakan.
Maaf, kalau terpaksa menyebut nama. Rizal Ramli adalah orang yang dimaksud. Sejarah lelaki yang yatim sejak usia enam tahun ini meninggalkan rekam jejak yang gamblang. Kesetiaannya pada ekonomi konstitusi bisa mudah dirunut. Keberpihakannya kepada rakyat kebanyakan juga bisa dengan gampang ditelusuri, baik saat di dalam maupun luar kekuasaan.
Otaknya yang encer dan tangan dinginnya terbukti mampu melahirkan banyak terobosan dalam mengurai benang kusut perkenomian. Saat menjadi Menko Ekuin, ekonomi mampu tumbuh dari minus 3% di era Habibie menjadi 4,2% hanya dalam tempo 21 bulan pemerintahan Gus Dur.