Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Capres Pencitraan vs Capres Gagasan

25 April 2018   14:16 Diperbarui: 12 Desember 2018   11:44 14179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara itu, mereka yang merasa layak menjadi Capres atau Cawapres justru banyak bergelimang dengan berbagai kasus hukum. Kita tentu belum lupa dengan idiom-idiom seperti skandal kardus duren, apel Washington-apel Malang, skandal bank Century, dan lainnya. Tapi, ya begitulah, orang-orang ini tetap saja dengan percaya diri terus melenggang ke gelanggang Pilpres.

Bukan itu saja, untuk mendulang suara orang-orang ini melakukan berbagai kegiatan yang seolah-olah pro rakyat. Tiba-tiba saja mereka jadi rajin blusukan ke gang-gang sempit, pasar-pasar becek, dan menggendong anak kecil suku di ujung Timur Indonesia. Seperti tidak cukup, bermacam akting tadi masih ditambah dengan bagi-bagi sertifikat tanah, bagi-bagi sembako, lempar-lempar kaus dan benda lain dari dalam mobil yang berjalan, sebar amplop berisi fulus, melakukan touring, bahkan naik motor berhujan-hujanan ria pun dilakoni.

Berbohong dan menipu

Para Capres dan Cawapres bermodal pencitraan ini pada hakekatnya sedang menipu rakyat. Rakyat disodorkan bermacam kepalsuan. Pencitraan adalah bentuk eufimisme alias penghalus-halusan dari frase pembohongan, bahkan penipuan.

Ada perbedaan mendasar antara berbohong dan menipu. Kalau saya berkata ini mobil baru, padahal faktanya sudah beberapa tahun umurnya, maka saya berbohong. Tapi, jika bohong saya itu saya tambah dengan mengecat ulang seluruh body mobil, mengganti ban dengan yang tidak gundul, mengutak-atik odometer agar jarak tempuh kilometernya masih pendek, bahkan mengubah STNK dan BPKB agar bulan dan tahunnya lebih muda, maka itu artinya saya telah menipu.

Tapi, syukurlah, tidak semua dari mereka yang berprilaku seperti itu. Tidak semuanya cuma bermodal pencitraan dan 'muka tembok'. Ada juga satu-dua Capres yang benar-benar berisi. Rekam jejaknya jelas, keberpihakannya kepada rakyat kecil menapak dalam-dalam pada tiap langkahnya. Integritasnya terujui. Kapasitas dan kapabelitasnya sudah terbukti dalam memecahkan banyak persoalan.

Sebagian dari Capres itu bahkan punya mimpi-mimpi besar sekaligus reachable. Orang ini bermimpi membuat ekonomi Indonesia tumbuh 10% selama lima tahun berturut-turut hingga masa jabatannya sebagai Presiden berakhir pada 2024. Tidak seperti beberapa tahun terakhir yang berkutat di angka 5% karena setia menerapkan mazhab ekonomi neolib ala Bank Dunia.

Dia juga bermimpi Indonesia akan tampil di gelanggang dunia sebagai pemimpin ASEAN yang dihormati. Bukan itu saja, tokoh ini terobsesi mengulang kedigdyaan Indonesia ketika Soekarno menjadi pemimpin Asia-Afrika. Dengan posisinya itu, Soekarno punya posisi tawar dahsyat yang sangat menguntungkan Indonesia di mata Amerika dan Rusia.

"Saya yakin, dengan kerja keras seluruh rakyat serta bantuan dan izin dari Allah Yang Maha Kuasa, mimpi-mimpi besar itu bisa kita wujudkan. Indonesia negara besar, rakyatnya bisa dan suka bekerja keras. Mosok kita mau terus terpuruk seperti sekarang. Man jadda wa jada, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Kalau Allah menghendaki, Dia cukup berkata kun fa yakun. Jadi, maka jadilah," ujar Rizal Ramli saat mendeklarasikan pencapresannya pada 5 Maret silam.

Mimpi besar itu bukan cuma perlu, tapi harus. Yang tidak kalah penting, kita harus tahu caranya dan mampu mewujudkannya. Kalau bermimpi saja tidak berani, silakan terus hidup dalam kubangan dan kehinaan. Kun fa yakun!

 

Jakarta, 25 April 2018

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun