Dengan dalih meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Sri juga berniat menjaring pendapatan dari berbagai layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Sebelumnya, dia bernafsu menurunkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi disesuaikan dengan upah minimum provinsi (UMP).
Khusus menurunkan PTKP, bisakah Sri membayangkan bagaimana dampaknya terhadap rakyat? Tolong ajari para buruh di Jateng yang menerima UMP Rp1.367.000 atau di Jatim UMPnya Rp1.388.000/bulan mengatur uang untuk hidup sebulan. Tolong ajari mereka bertahan hidup dengan upah yang begitu kecil plus harus dipotong pajak pula.
Daya beli rakyat dipastikan bakal makin terpukul. Sudah begitu, rakyat yang pendapatannya rendah jadi terjangkau pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga, dilindas bajaj pula. Padahal, dengan pendapatan yang relatif baik, daya beli pun meningkat sehingga memacu perekonomian. Jangan lupa, 57% ekonomi Indonesia digerakkan konsumsi masyarakat.
Makin miskin
Daya beli rakyat turun adalah kata lain dari menjadi miskin. Sangat mengherankan kebijakan Menkeu kok justru akan memiskinkan rakyatnya. Menurunkan PTKP memang bakal menaikkan tax ratio dan mendongkrak penerimaan pajak. Namun apa artinya semua itu kalau harus ditebus dengan kian miskinnya rakyat? Jika ini terjadi, lantas apa bedanya dengan penjajah Kompeni saat menjajah kita?
Masih ada contoh teranyar betapa bengisnya watak Sri terhadap rakyat kecil. Ketika Presiden  Joko Widodo bermaksud menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) final untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) menjadi 0,25 yang sebelumnya 1%. Tapi, Sri yang pejuang neolib gigih itu ngotot, PPh final UKM cuma bisa diturunkan maksimal jadi 0,5%. Bukan main, Menkeu berani berseberangan bahkan menentang Presiden!
Lewat jabatan Menteri Keuangan yang diganggamnya, Sri memang selalu menyediakan karpet merah kepada pengusaha besar dan para majikan asingnya. Berbagai kemudahan perpajakan diberikan dan berkali-kali menerbitkan obligasi berbunga supertinggi. Sebaliknya, kepada rakyat kecil dia begitu bengis. Hal itu ditunjukkan dengan memangkas aneka belanja sosial di APBN dan membebani rakyat dengan aneka pajak dan pungutan.
Apa kabar Nawacita dan Trisakti...? (*)
Jakarta, 3 April 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H