Edy Mulyadi*
"Pemerintah memahami bahwa setiap pungutan adalah beban kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah melakukan penertiban dan pengaturan agar unit pemerintahan tidak secara berlebihan melakukan pungutan kepada masyarakat, tanpa didasari evaluasi biaya pemberian jasa dan juga potensi beban yang ditanggung masyarakat. Pungutan harus dikaitkan dengan kualitas perbaikan pelayanan kepada masyarakat dan tidak untuk mencari untung."
Begitu tulis Kepala Biro Komunikasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti saat menanggapi kritikan terhadap RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang roma neolibnya begitu menyengat. Meminjam istilah anak-anak mudak jaman now, membaca paragraf tersebut terasa adem benerrr...
Dalam hal mengolah kata-kata, pejabat Kemenkeu yang satu ini memang dikenal cukup piawai. Mungkin, ini bukti 'sukses' sang Menkeu, Sri Mulyani Indrawati (SMI) dalam membina anak buahnya. Pasalnya, Sri memang terbilang canggih dalam merangkai kata, sehingga seolah-olah terkesan sangat peduli kepada negara dan rakyat Indonesia.
Keterampilan perempuan mantan petinggi IMF dan Bank Dunia dalam mengolah kata-kata bisa disimak dalam APBN-APBN yang dia susun. Misalnya, simak naskah pengantar APBN 2017. Di sana ada paragaraf yang berbunyi sebagai berikut:
Pada semester kedua tahun 2016, Pemerintah melakukan langkah konsolidasi fiskal untuk mengamankan pelaksanaan APBN-P, menjaga kepercayaan pasar dan dunia usaha (perhatikan kalimat yang saya cetak tebal), serta menjadi basis perencanaan fiskal dan pembangunan yang lebih realistis di tahun 2017. Alokasi penganggaran lebih diprioritaskan pada upaya pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan dan penciptaan lapangan kerja.
Sejalan dengan itu, dilakukan penghematan terhadap belanja operasional dan belanja barang. Hasil penghematan itu selanjutnya dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan prioritas, terutama untuk menjaga kesejahteraan rakyat dan memberikan stimulus kegiatan perekonomian.
Kalimat-kalimatnya terasa indah, idealis, dan sangat berpihak kepada rakyat. Tapi, semua itu sama sekali tidak tercermin dalam alokasi anggaran di APBN. Belanja sosial dipangkas habis-habisan, dengan konsekwensi harga berbagai kebutuhan dasar melonjak-lonjak. Pajak digenjot membabi-buta dengan fokus pada soal-soal printal-printil alias remeh-temeh. Sebaliknya, pemerintah amat manis dan memberi begitu banyak kemudahan bagi pengusaha besar asing dan aseng.
Terus hisap rakyat
Yang terbaru, guna menutup penerimaan pajak yang jeblok (sampai akhir September masih kurang sekitar Rp500 triliun), maka pemerintah kembali memalaki rakyatnya dari segala penjuru. Agar tidak menabrak perundangan dan peraturan, pungutan baru itu dibalut dengan  nama keren, Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Dan, seperti yang sudah-sudah, Sri dan aparatnya hanya sibuk membidik kantong rakyat kecil. Maka, pendidikan dan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar pun menjadi objek PNBP. Sebaliknya, pungutan dari pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya alam (SDA) lain yang potensi penerimaannya jauh lebih besar justru nyaris diabaikan.