RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disodorkan Pemerintah, sekali lagi menjadi bukti kian benderangnya mazhab neolib Sri Mulyani Indrawati (SMI). Substansi dari draft beleid ini adalah, Pemerintah sibuk mengais uang recehan dengan cara memalaki rakyat kecil. Di sisi lain, potensi penerimaan yang jauh lebih besar justru nyaris sama sekali tidak disentuh.
Lewat RUU ini, Pemerintah akan menyasar bidang kesehatan dan pendidikan sebagai objek PNBP. Jika RUU PNBP ini lolos, kelak setiap siswa dan mahasiswa perguruan negeri akan dikenai PNBP saat membayar uang pendaftaran ujian saringan masuk, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), uang kuliah, dan lainnya. Pungutan serupa juga akan dikenakan pada biaya pelayanan rumah sakit pemerintah.
RUU PNBP sudah melabrak konstitusi. Pengenaan PNBP pada pendidikan bertentangan dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Paragraf ini menyebut dengan sangat gamblang, bahwa salah satu tujuan para founding fathers mendirikan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Seharusnya negara membebaskan seluruh biaya pendidikan, dari level paling rendah hingga yang paling tinggi. Namun faktanya amanat tersebut belum bisa diwujudkan. Untung saja sudah ada komitmen mengalokasikan anggaran pendidikan hingga 20% dari total belanja APBN.
Wujud ngawur lain dari Menkeu ada di pasal 4 ayat (3), yaitu rencana mengenakan PNBP pada layanan rumah sakit pemerintah. Padahal pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kendati belum memadai, tekad pemerintah mengalokasikan 5% dari belanja APBN untuk anggaran kesehatan sudah bagus. Tapi kalau mau konsisten, Pemerintah seharusnya membebaskan seluruh biaya bagi pelayanan kesehatan untuk setiap rakyatnya. Pada titik ini, apa yang dilakukan Sri dengan RUU PNBP-nya tersebut, semakin menjauhkan tanggungjawab Negara terhadap kesehatan rakyatnya.
Pada UU PNBP yang lama (UU no.20/1997), jumlah pungutan bernama PNBP mencapai sekitar 60.000 pungutan. Di Kementan, misalnya, ada sekitar 3.000 pungutan, ESDM 5.400 pungutan, Perhubungan 6.000 pungutan. Sementara di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta LIPI, masing-masing 6.200 pungutan dan 3.000 pungutan.
Terus memeras rakyat
Syahwat pemerintah untuk memeras rakyat dari segala penjuru kian kentara karena RUU PNBP juga menyasar berbagai layanan pemerintah lainnya. Antara lain PBNP pada biaya Diklat kepemimpinan, pelayanan nikah-rujuk, SIM, STNK, BPKPB dan lainnya.
Pertanyaannya, kenapa lagi-lagi Sri memeras rakyat kecil untuk menutupi kekurangan penerimaan pajak? Bukankah selama ini rakyat sudah dibebani bermacam pajak? Tidakkah ini berarti pada dasarnya rakyat kena pajak berganda? Mosok tidak ada secuil pun empati dari perempuan kelahiran Lampung ini terhadap beban rakyat yang sudah amat berat?
Memangnya berapa sih yang bisa diraup negara dari aneka PNBP yang menyasar hak hidup rakyat kecil ini? Pasalnya, pada APBN 2017 saja, target penerimaan PNBP dipatok Rp250 triliun. sedangkan target di RAPBN 2018 tercatat sebesar Rp267,9 triliun. Bisakah uang receh dari memalak rakyat dengan aneka pajak berganda tadi membuat target penerimaan PNBP terpenuhi?