Sikap kritis Rizal Ramli terhadap neolib bahkan sudah disuarakan sejak amat belia, saat masih menjadi mahasiswa di ITB tahun 1978an. Bukunya berjudul Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan: Langkah Strategis dan Kebijakan Terobosan, 2000-2001,memaparkan bagaimana ekonomi negeri ini bisa dibangkitkan tanpa membebek doktrin neolib.
Pernyataan Kwik yang menyebut ada kekecualian tim ekonomi negara tidak dikuasai kaum neolib saat Gusdur Presiden, itu terjadi karena Menko perkeonomian dan Menkeu dijabat Rizal Ramli. Dia juga membuktikan sejumlah kebijakan terobosan berbasis ekonomi konstitusi yang diambilnya, justru mampu ekonomi terbang lebih tinggi, rakyatnya lebih sejahtera, dan membuat Indonesia digdaya di mata dunia.
Sebaliknya, publik akan dengan mudah menemukan jajaran hamba sekaligus para pejuang neolib yang bersemayam di pusat lingkaran kekuasaan. Tentu saja, mereka tidak mengaku apalagi menepuk dada sebagai penganut neolib. Namun dengan mencermati berbagai kebijakan yang dikeluarkan, maka kita akan dapat mengendus aroma neolib yang sangat sengit menyeruak.
Kenyatan ini pula yang sering tidak masuk nalar orang yang waras dan berhati nurani. Sebagai kaum intelektual, bagaimana mungkin mereka terus saja mengabaikan begitu banyak fakta dan bukti betapa bobroknya mazhab neolib. Sebagai pejabat publik, bagaimana mungkin mereka bisa terus-menerus setia kepada para majikan asingnya, walau untuk itu harus mengorbankan kepentingan bangsa dan rakyatnya sendiri.
Dengan jabatan starategis yang disandang, mereka terus saja mendesain berbagai kebijakan dengan aroma neolib yang amat kental. Memangkas anggaran dan memotong belanja sosial. Pada saat yang sama, mereka mati-matian mempertahankan anggaran pembayaran pokok dan bunga utang yang dari waktu ke waktu jumlahnya makin tidak masuk akal waras dan mengusik nurani. Kaum neolib ini tidak segan-segan memperlebar defisit, memalak rakyat dengan berbagai pajak, terus membuat utang baru, dan melego BUMN.
Sebagai pembantu Presiden, sejatinya mereka sudah melakukan banyak insubordinasi. Bukankah Presiden Joko Widodo sudah pernah dengan lantang menyatakan IMF, Bank Dunia, dan ADB tidak memberi solusi bagi persoalana ekonomi global?
"Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang," ujar Jokowi dalam pidato Pembukaan Konfrensi Asia Afrika, di Jakarta, 22 April 2015.
Tapi begitulah Indonesia. Mereka yang bekerja dengan hati bagi negeri justru dikebiri. Para pengeritik dicutik agar tak berisik. Tidak ada tempat bagi pejabat penentang neolib. Sebaliknya, para komparador kian mesra berkarib dengan neolib. Pejabat penjual negara terus berpesta memijak rakyat yang menderita. Ironis. Tragis! (*)
Jakarta, 24 Agustus 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)