Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Memangnya Reklamasi untuk Siapa, Sih?

19 Mei 2017   17:36 Diperbarui: 19 Mei 2017   21:04 2084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sedangkan dari sisi legal, pelanggaran yang dilakukan pengembang untuk pulau G antara lain, menabrak pasal 94 ayat 5 PP Nomor 5/2010 tentang Kenavigasian, terkait zona 500 m dari sisi terluar instalasi atau bangunan, melanggar UU Nomor 32/1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pasal 30 dan 31 PP Nomor 61/2009 tentang Kepelabuhanan. Peraturan lain yang dilanggar adalah UU Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

 Yang saya sebutkan itu hanya beberapa pelanggaran Pulau G terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku. Banyak lagi peraturan dan perundangan yang dilanggar. Jadi, kalau dulu Ahok tetap ngotot berpegang Keppres No.52/1995, tidak salah kalau Menko Maritim minta Ahok jangan kuno. Dia harus berpikir modern. Sudah banyak peraturan yang lebih baru dan lebih tinggi daripada Keppres yang dia sodorkan.

 Tentang terganggunya PLTU/PLTGU di Pantai Teluk Jakarta. Secara khusus PT PLN (Persero) telah mengirim surat nomor 0738/KON 00.03/DIRREG-JBB/2016 kepada Surat ke Menteri Kelauatan dan Perikanan. Dalam surat itu, Direktur PLN Murtaqi Syamsuddin mengatakan, sangat khawatir rencana reklamasi di Teluk Jakarta akan mempengaruhi kinerja pembangkit PLN.

 Total jumlah kapasitas daya saat ini di PLTU/PLTGU Muara Karang, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Muara Tawar sebesar 5.703 MW. Direncanakan ada penambahan kapasitas menjadi sebesar 9.253 MW dengan selesainya PLTGU Jawa-1 sebesar 1.600 MW. Keempat pembangkit tersebut merupakan pasokan daya utama untuk melayani Jakarta.

 Publik harus tahu bahwa keputusan membatalkan reklamasi Pulau G karena memang berbahaya jika dilanjutkan. Kalau sampai, misalnya, terjadi ledakan pada pipa gas bawah laut, atau benar-benar terjadi gangguan terhadap pasok listrik Jakarta karena reklamasi, siapa yang disalahkan? Tentu bukan pengembang atau Pemprof DKI. Publik akan menyalahkan Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta karena memberi rekomendasi reklamasi Pulau G.

 Pada reshuflle jilid dua, Rizal  Ramli pun terpelanting dari lingkaran kabinet. Tapi publik kadung yakin, bahwa pencopotannya Ramli disebabkan karena dia menentang proyek reklamasi. Padahal, para taipan pemilik proyek sudah menggelontorkan dana amat besar untuk itu. Tentu saja, mereka tidak ingin mega proyek yang bakal mendatangkan keuntungan puluhan bahkan ratusan triliun tersebut bubar di tengah jalan.

Katanya negara hukum?

Di luar soal aspek legal, lingkungan, dan ekonomi tadi, ada satu pertanyaan mendasar; sejatinya untuk siapakah reklamasi itu? Kita memang bisa debat panjang lebar soal ini. Masing-masing dengan seabrek argumen dan kepentingan yang melatarbelakanginya.

Namun yang pasti, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah berkali-kali menjerembabkan Pemda DKI dan memenangkan nelayan. Pengadilan sudah memerintahkan pembatalan reklamasi pulau G, F, I, dan K. Hakim menilai pelaksanaan reklamasi tidak berkaitan dengan kepentingan umum. Reklamasi malah berdampak buruk yakni kerusakan kehidupan di dalam laut dan warga yang menggantungkan hidupnya dari lautan.

Pemerintah selalu berjargon Indonesia adalah negara hukum. Pemerintah juga yang selalu menyemburkan mantra, bahwa semua orang tanpa kecuali, harus patuh terhadap hukum. Tapi faktanya, pada kasus reklamasi pemerintah sendiri yang berkali-kali menabrak hukum, mengabaikan hukum, dan melecehkan hukum. Tragis dan ironis!

Lebih tragisnya lagi, kemenangan rakyat dan para aktivis lingkungan di pengadilan melawan penguasa dan para taipan rakus itu selalu saja sepi dari pemberitaan. Entah apa sebabnya. Tapi rasanya mustahil kalau media, apalagi yang mainstream, tidak mengendus news value yang tinggi dari sengketa ini. Aneh, memang…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun