Pada saat yang sama, mereka dengan sangat semangat ‘membantai’ orang atau pihak-pihak yang mengkritisi sang gubernur. Saya sengaja menggunakan diksi ‘membantai’ ketimbang ‘mem-bully’. Pasalnya, apa yang mereka lakukan jauh lebih keji ketimbang mem-bully yang sebetulnya sudah keji.
Lebih keji lagi, bantaian mereka itu sama sekali tidak menyangkut substansi kritik yang disampaikan si korban. Yang dilakukan para Teroris Media Sosial tadi adalah melakukan pembunuhan karakter orang atau pihak yang mengkritik sang majikan.
Inilah yang menyebabkan saya memilih menggunakan frase Teroris Media Sosial bagi paraAhokers ketimbang buzzer. Menurut saya, ada perbedaan mendasar antara Teroris Media Sosial dan buzzer.
Buzzer diambil dari kata dasar Buzz yang artinya ‘pembicaraan’ atau ‘percakapan’. Dengan demikian, Buzzer adalah orang yang diharapkan bisa membuat sebuah topik/keywords jadi sebuah pembicaraan, bukan saja di dunia online tapi jugain the real world.
Ada aturan tidak tertulis dalam menggunakan buzzer pada saat ini, yaitu berdasarkan jumlah tweetberisikan pesan mereka. Dengan kata lain, mereka dibayar dari jumlah tweet yang diminta oleh pihak yang menyewa mereka. Penghitungan success rate-nya dari jumlah tweet yang di-retweet.Makin besar jumlah retweet, makin besar pula nilaireach-nya.
Sampai di sini, buzzer adalah profesi yang netral. Pihak yang memanfaatkan mereka umumnya perusahaan atau individu yang ingin mengerek brand-nya. Artinya lagi, (sebelumnya) peran mereka justru positif. Berbeda dengan Teroris Medsos, tugas mereka memang untuk membantai. Bisa jadi, para teroris ini adalah buzzer yang menjalankan perintah negatif, yaitu membantai orang atau pihak yang dianggap merugikan sang juragan.
Pembantaian secara brutal
Materi bantaian bisanya menyangkut fisik korban yang dianggap lemah dan atau buruk. Contohnya, ketika Ratna Sarumpaet menyatakan siap ‘pasang badan’ untuk mengusung Rizal Ramli sebagai Cagub DKI, maka para Teroris Sosmed tadi sibuk membantai Ratna pada kalimat “pasang badan” dengan bermacam celotehan yang sama sekali tidak layak dikutip di sini.
Ratna bukanlah orang pertama dan satu-satunya korban para Teroris Sosial Media. Mereka juga tidak peduli latar belakang sang korban, termasuk jika yang bersangutan adalah artis kondang. Iwan Fals, misalnya, pernah jadi korban pembantaian Ahokers karena menulis status di twitternya. Saat itu penyanyi yang menjadi simbol pendobrak kemapanan ini mempertanyakan kabar dari media soal reklamasi Jakarta yang diberitakan belum memiliki izin.
Sebelum Iwan, tokoh lain yang jadi korban adalah Walikota Bandung, Ridwan “Emil” Kamil. Saat itu, Ridwan Kami yang menyampaikan ajakan kepada warga Bandung untuk kerja bakti massal. Dia menggunakan tanda pagar (Taggar) #BeberesBandung.
Entah apa urusannya kerja bakti massal warga Bandung dengan Ahok di Jakarta. Namun faktanya, Emil langsung jadi sasaran pembantaian para Ahokers.